Sehari Bersama FLP


Seperti judulnya, tulisan ini bercerita tentang bagaimana hari selasaku di pekan ini kuhabiskan bersama kawan-kawan FLP. Baiklah. Ceritanya bermula ketika sebuah pesan singkat. Sebetulnya bukan sebuah, tapi beberapa kontak yang berbeda mengirimkan satu pesan dengan isi yang sama. Yah. Merekalah kawan-kawan FLP (dalam hal ini adalah senior karena akulah kader termuda yang hadir. Hahha *dengan nada antagonis).

Pesan yang masuk ke inboxku berisi ajakan untuk menghadiri talkshow di salah satu TV lokal; Kompas. Awalnya aku menolak karena alasan kuliah yang sangat padat. Tapi setelah melalui pertimbangan dan perdebatan yang cukup alot dengan diri sendiri, akhirnya aku mengiyakan ajakan itu.

Jadilah aku bolos tiga mata kuliah dari empat mata kuliah yang ada di hari selasa ini. Mengingat ada tiga kali toleransi alpa dan belum sekalipun kugunakan hakku itu, maka dengan ringannya kaki ini mengambil langkah pendek dan cepat menuju ipteks sebagai titik pertemuan kami sesama anak-anak FLP Unhas.

Sudah ada beberapa wajah yang sangat kukenali bertengger di ipteks menanti kedatanganku tentunya, maksudku beserta kawan yang lain. Aku ikut bergabung dengan mereka sebagai orang yang tadinya dinanti menjadi penanti seperti mereka. Semua sudah berkumpul. Waktunya bergegas menuju studio Kompas. Para lelaki dari FLP memilih mengendarai motor mereka. Sebagian dari kaumku juga mengendarai motor. Hanya aku, kak Isma, kak Ina, kak Qia dan kak Tina (yang baru belakangan kutahu namanya) memilih untuk menumpangi pete-pete karena memang sudah tidak ada pilihan lain. Pete-pete kosong tujuh meluncur dengan agak ugal-ugalan menurutku, membawa kami ke jalan abdesir yang menjadi tempat pemberhentian. Setelah pete-pete, karena memang lagi-lagi tidak ada pilihan lain, kami menumpangi bentor setelah melalui negosiasi yang cukup alot. Dua bentor dengan lima penumpang. Kak Qia dan kak Tina, sedangkan kak Isma, kak Ina dan aku ada di bentor yang sama.

Hotel Continent sudah terbaca puluhan kilometer jauhnya. Kami turun. Iya. Karena studio Kompas ada di lantai delapan hotel ini. Menunggu kawan-kawan yang lain tiba di dalam. Lalu datanglah sosok yang orang-orang bilang tinggi-besar. Yang ada di benakku mungkin dialah produser acaranya. Kami yang berjumlah puluhan (hampir lupa kalau bukan cuma FLP Ranting Unhas yang datang, tapi kawan-kawan dari UIN, UNM, UMI dan UNISMUH juga ikut memeriahkan) serta-merta menyerbu studio siar Kompas yang terlalu sempit untuk jumlah kami yang tidak sedikit ini.

Semua mengambil posisi terbaik untuk disorot kamera. Tidak terkecuali diriku. Fakta mengatakan bahwa hanya satu orang yang akan onair selaku bintang tamu. Orang yang beruntung itu tentu saja kakak yang paling dituakan; kak Bulqia, atau sebut saja kak Qia. Sisanya menjadi tukang tepuk tangan. Meskipun memang sesekali kami disorot kamera. Tapi wajahku sama sekali belum nampak di TV yang ada di depan kami. Tertutupi banyak wajah yang duduk lebih di depan. Kasihan sekali. Sampai entah yang ke berapa kalinya kami yang selaku penonton ini disorot, barulah wajah yang sangat kukenali menghiasi kotak ajaib itu. Hahha. Akhirnya.

Bukan hanya kak Qia yang menjadi tokoh pembicara. Kak Ismi (ketua FLP UNM), kak Bata (ketua FLP Unhas) juga ikut nimbrung di bagian kursi penonton. Ada om Syahrir juga yang membacakan puisi karyanya. Yang lain? Apa lagi bukan menjadi tukang tepuk tangan.

Durasi satu jam berakhir kilat. Saatnya sesi foto-foto bersama kedua penyiar Kompas.


Puas berfoto, saatnya pulang. Bukan pulang. Lebih tepatnya meninggalkan studio Kompas. Meninggalkan hotel Continent. Karena ternyata masih banyak agenda selanjutnya yang akan dilakukan bersama kawan FLP.

Next destination: Kafe Baca. Tidak begitu jauh dari studio Kompas. Cukup berjalan beberapa ratus meter maka kau akan menemukan gedung berwarna cream yang sama sekali tidak terlintas di benak bahwa di sanalah kafe baca itu. Hal pertama yang kami lakukan tentu saja shalat duhur. Inilah yang sangat kusenangi dari FLP; selalu mendahulukan ibadah. Setelah itu, barulah kita menuju kursi makan. Sembari menunggu pesanan, kami memilih-milih buku yang beredar di seluruh ruangan. Seperti namanya, Kafe Baca ini menyediakan koleksi buku apa saja yang menjadi teman menunggu makanan. Aku dan kak Ina memesan menu yang sama; mie bakso. Tapi tidak seperti yang kuharapkan. Mie bakso Kansas jauh lebih enak. Tahu begitu aku pesan sup ubi. Tapi sudahlah. Ujung-ujungnya juga dihabiskan. Hahha.

Puas mengisi perut, aku dan kak Ina (yang seharian ini menjadi partner setiaku) memutuskan kembali ke kampus. Sisanya masih nangkring di kafe baca.

“Ke pete-pete kosong tujuh berapa, pak?” Tanya kak Ina pada bapak bentor yang saat ini persis ada di depan kafe baca.

“Sepuluh ribu.” Sontak kami (aku dan kak Ina) saling memandang. Tawar-menawar yang alot kali ini tidak terjadi. Sepertinya kita ditipu di bentor sebelumnya. Harganya dua kali lebih mahal. Dengan wajah sumringah kami menaiki bentor. Lalu kembali menumpangi pete-pete menuju kampus.

Aku dan kak Ina berpisah di pete-pete. Aku turun di bundaran. Hendak menuju baruga untuk menyaksikan Administration Fair, tapi sebelumnya mampir di EBS. Sedangkan kak Ina turun di sahabat. Katanya ada sesuatu yang harus diselesaikan.

Selama berjam-jam aku duduk menyaksikan aksi dari kawan-kawan administrasi, tapi pertunjukan pom-pom boys belum juga muncul. Padahal aku harus segera berangkat ke UMI bersama kak Ina. Di sana kawan-kawan yang lain sudah menunggu sambil rapat TOWR FLP. Kali ini kami akan ke Sekolah Islam Athirah. Ada undangan untuk FLP menghadiri Launching Tudang Sipulung Sastra dan Budaya Na Athirah.

Perjalanan tidak sesuai perkiraan. Shalat magrib yang tadinya direncanakan di Athirah berubah menjadi masjid di pinggir jalan yang aku tidak tahu namanya. Setelah shalat, kembali kami menaiki pete-pete kosong lima. Mentok di ujung, aku dan kak Ina stop. Menyeberangi jalan di malam hari, hanya berdua, dengan suasana yang tidak begitu ramai sedikit menakutkan. Mencari Sekolah Athirah melalui panduan telpon dari seberang oleh kak Isma membuat kami akhirnya bisa bernapas lega saat tanda-tanda keberadaan Athirah sudah nampak. Masuk ke area sekolah dan menuju aula. Sebelumnya aku dan kak Ina menengok ke belakang saat menaiki tangga. Tampak seseorang yang kami curigai Taufik Ismail. Banyak yang mengiringinya saat menaiki tangga. Aku dan kak Ina begitu excited. Wahh. Akhirnya. Orang yang sangat ingin kita temui sudah di depan mata. Lalu tiba-tiba saat berada di dekat meja registrasi, seseorang memberi arahan pada sosok lelaki tua itu.

“Silahkan isi buku registrasi.”

Sontak aku dan kak Ina kembali bersitatap. Appahh?? Isi buku registrasi? Masa ia pak Taufik yang diundang sebagai tokoh besar mala mini disuruh isi buku registrasi.

Tawa pun pecah dari kami berdua. Hahhah. Bukan dia orang yang kita maksud. Memang tadi wajahnya kelihatan samar karena agak gelap di tangga itu. Ternyata dia Taufik Ismail KW 5. Sama sekali tidak ada mirip-miripnya. Hanya karena respon orang-orang di sana yang menurut kami terlalu berlebihan membuat kami mengira seperti itu.

Kami berdua lanjut ke meja registrasi untuk mengambil kupon makanan. Di sanalah muncul wajah-wajah yang rasanya sangat dekat. Memang sangat dekat. Kawan-kawan FLP, we’re coming setelah melaui perjalanan panjang seorang diri (meski kami berdua, kami merasa sendiri karena kalian meninggalkan kami). Tapi sudahlah. Kalian tidak perlu merasa bersalah. Memang kami yang terlambat sampai membuat kalian harus berangkat duluan.

Kupon makan segera ditukarkan. Aku, kak Ina, kak Isma, dkk memilih menu sup ubi. Terbayarlah sudah keinginanku untuk makan sup ubi tadi siang. Tuhan memang Maha Tahu. Setelah makan, shalat isya. Begitu kembali ke aula, bapak Taufik Ismail sudah ada di ruangan. Ini baru Taufik Ismail yang asli dengan songkok khasnya.

Beberapa penampilan seni ditampilkan sampai hampir larut. Beberapa komunitas seni dan sastra ikut berpartisipasi. Oh iya. Ada fenomena lucu dan agak menyebalkan yang dilakukan oleh sang MC.

“Terimakasih untuk semua tamu undangan yang sudah hadir. Komunitas seni dan Sastra. Bengkel Sastra dari UNM, dari UNISMUH, dan lain-lain.”

Dan Lain Lain. Kata yang menyedihkan. FLP tidak diakui. Sakit. Sakit sekali. Mari kita pulang saja. Kasihan sekali kita. Tapi setelah itu ada momen yang membahagiakan. Begitu sang direktur naik ke panggung, perwakilan dari FLP dipanggil. Jadilah kak Bata yang mewakili kita semua. Mewakili FLP Cabang Makassar. Terobatilah luka yang tadi. Hahha.

Acara puncak ada di tangan Taufik Ismail. Dialah yang membuka secara langsung Launching Tudang Sipulung Sastra dan Budaya Na Athirah. Pak Taufik sedikit membahas tentang FLP. Maka anak-anak FLP semakin di atas awan. Begitu selesai, semua berebut untuk mengambil foto bersama sang penyair terkenal ini. Berdesak-desakan. Sudah pasti.

 Gambar hasil berdesak-desakan

Malam semakin larut. Sudah pukul sepuluh malam. Aku dan kak Ina sangat waswas. Mengingat sedang marak-maraknya aksi geng motor di malam hari. Kami pulang bersama kak Qia dkk. Tentu saja naik pete-pete. Karena memang itulah kendaraan umum di kota ini. Hampir pukul sebelas kami tiba di pintu dua. Tidak ada lagi pete-pete kampus. Kami memutuskan berjalan kaki menuju sahabat. Tidak berdua. Ada Iqbal yang menemani.

Keparnoan berlanjut saat beberapa motor berturut-turut lewat. Jangan sampai itu geng motor. Syukurlah, bukan. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Kugenggam erat tangan kak Ina seperti tidak rela ia lepas. Jantungku masih diganggu pikiran negatif. Tiba-seseorang yang bermotor datang dari arah depan.

“Baru pulang?”

Oh my God. Aku benar-benar tidak bisa berpikir positif saat ini. Matilah kita. Ditambah lagi ada yang menyusulnya. Saat melihat ke arah wajahnya, oh wajah itu. Tidak. Dia tentu saja bukan bagina dari geng motor. Tapi kak Jum. Mendadak hatiku dibalut rasa tenang dan aman. Dan yang menyusul di belakang itu kak Syahrir bersama kak Ahmad, dan kak Fikah. Mereka saudara kami, kawan-kawan FLP. Rasanya aku hampir mati shock.

Merekalah yang mengantar kami masuk ke sahabat. Aku dan kak Ina dibonceng berdua oleh kak Fikah. Kak Iqbal bersama kak Jum. Sedangkan kak Syahrir dan kak Ahmad ikut mengantar kami. Terimakasih Tuhan. Kau memang Maha Baik. Akhirnya aku sampai di kamar pondokan dan menuliskan kisahku sehari bersama FLP. Aku menyayangi kalian.

Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

Suamiku

eLPiDiPi Kali Kedua