Suamiku

Namaku Rima, perempuan berusia 20-an yang telah berkeluarga. Aku hidup dengan dua orang anak yang cerdas dan menggemaskan, seorang anak perempuan yang begitu manis dan seorang anak laki-laki yang tampan tak terperi. Juga seorang suami yang teramat mencintaiku.


Aku termasuk dalam jajaran istri dan ibu yang menghabiskan hampir seluruh waktu di rumah. Semua kebutuhan telah dipenuhi oleh suami. Kondisi ekonomi keluarga kami pun cukup stabil berkat karir suami yang cukup mentereng. Yang kulakukan hanya menyiapkan sarapan untuk keluarga setiap pagi, menyetrika seragam suami dan anak-anak, serta mengurus hal-hal lain yang ada di rumah. Selebihnya kugunakan untuk bersantai menonton TV, belanja pakaian model terbaru setiap awal bulan, atau sekadar berkumpul dengan kawan-kawan membicarakan hal yang tak begitu penting demi menghabiskan waktu menunggu anak-anak dan suami pulang. Kehidupan yang banyak diidamkan perempuan lain, setidaknya begitulah pandangan orang-orang di sekitarku.


Aku tipe istri yang tak banyak menuntut. Hidupku berjalan dengan cukup baik. Terlebih lagi perhatian yang kuterima dari suami amatlah besar. Apapun yang kuinginkan tak pernah diabaikannya. Bahkan tanpa kuminta sekali pun. Ia sangatlah gemar memberiku kejutan; membeli perabotan rumah tangga, membelikan baju yang katanya sedang in, perhiasan, tas dan segala hal yang disukai wanita.

Meski orang lain menganggap kehidupan rumah tangga kami adalah cerminan keluarga bahagia, aku justru menganggapnya biasa saja. Aku menikah bukanlah karena keinginanku. Orangtuaku menjodohkanku di usia yang sangat belia dengan pria yang tak pernah kucintai. Ingin berontak saat itu, tapi tak mampu. Singkat cerita, kami pun menikah dan melahirkan putra putri yang cemerlang.

Aku tak pernah benar-benar mencintai suamiku hingga usia pernikahan kami menginjak tahun ke enam. Ia selalu saja berusaha menyenangkanku, mengajakku ke tempat-tempat yang indah, membantuku melakukan pekerjaan rumah tangga, hingga menemaniku membuat masakan resep baru hasil buruan yang ia dapat dari rekan kerjanya. Ia tak pernah kehabisan akal untuk membuatku merasa nyaman.

Saat seseorang benar-benar tulus mengasihi dengan segenap jiwa dan raganya, maka apa yang bisa kulakukan? Apa yang kurasakan kemudian? Dinding yang tadinya kokoh runtuh perlahan-lahan. Luluh dengan segala perlakuannya yang menjadikanku bak seorang ratu. Ya. Aku menyerah pada kebatuan hatiku. Suami yang begitu lembut, penyayang, dan tulus, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain membalas kasihnya. Kasih yang ia nanti bertahun-tahun. 

Saat perasaan itu telah kusiram dan kuberi pupuk setiap hari hingga ia tumbuh subur, badai pun menerjang. Suamiku jatuh sakit. Aku terus mendampinginya di masa ia terkulai lemah. Merawatnya di rumah, hingga menemaninya di rumah sakit.

Tak lama ia terbaring lemah, Tuhan lalu mengambilnya dari sisiku. Aku tak pernah tahu ia mengidap penyakit yang parah karena sepanjang pengetahuanku ia tak pernah sakit sebelumnya. Belakangan baru kutahu, masa mudanya ia habiskan dengan selalu makan terlambat karena sibuk bekerja. Pun kalau makan, ia mengonsumsi makanan yang jauh dari kata sehat. Aku tak pernah tahu itu karena aku tak pernah benar-benar memperhatikannya. Hingga akhirnya ia tumbang dan pergi di usianya yang baru melewati kepala tiga.

Aku hancur. Suami yang selama ini selalu ada untukku, suami yang kasihnya seluas lautan, suami yang tak pernah meninggalkanku, kini pergi tuk selamanya. Saat kasihnya telah kubalas, saat aku telah benar-benar menyayanginya, saat semuanya terasa begitu indah, mengapa Tuhan mengambilnya? Mengapa Tuhan setega itu mencabut kebahagiaan yang baru saja kami tanam?

Aku marah. Marah pada Tuhan. Marah pada takdir yang begitu jahat padaku. Aku marah. Jauh lebih marah pada diriku.

Aku tak menghadiri pemakaman karena berkali-kali jatuh tak sadarkan diri. Seluruh tubuhku tak bertenaga. Tak sanggup bangkit. Hatiku tersayat, teramat perih. Terlebih saat kuingat perlakuan tak pantasku saat suamiku masih hidup. Saat si sulung baru saja lahir ke dunia, aku hampir tak pernah benar-benar melakukan peranku sebagai ibu. Mengganti popok, membuatkan susu, menenangkannya saat terbangun tengah malam, hampir semua dilakukan oleh suamiku. Saat aku pilek sedikit saja, aku pasti akan sangat manja. Hingga semua pekerjaan rumah tangga ia lakukan sendiri. Saat aku malas membuatkan kue kesukaannya, ia selalu saja datang menemaniku memberi bantuan sebisanya. Saat ia membelikan pakaian baru, tak jarang aku hanya menyimpannya di lemari karena tak menyukai seleranya. Saat ia melakukan sesuatu yang membuatku marah, bicara dengan nada tinggi pun kadang kulakukan. Tapi pernahkah ia marah dengan semua perlakuanku? Tidak. Tak pernah sekali pun. Apa ia jelmaan malaikat? Mengapa hati selembut itu harus bertemu seseorang yang teramat batu? Suamiku, sabarmu terlampau banyak. Ia yang selalu sekuat tenaga membahagiakanku meski sering aku tak menganggapnya. Ia yang dengan ketulusannya membuat lubang besar menganga di dalam sana. Yang tersisa hanya kekosongan. Hampa.

Mengapa aku tak pernah menyadarinya? Mengapa rasa yang begitu besar hadir saat ia ternyata akan pergi? Mengapa ini begitu terlambat? Kalau saja bukan karena anak-anak, ingin pula kususul ia. Bagaimana aku akan hidup tanpa suami yang selalu ada sisiku? Bagaimana aku akan bertahan seorang diri?

Maafkan aku yang terlambat melihat ke arahmu. Sesal memang selalu bertakdir di akhir. Dosa-dosaku padamu kan kutebus dengan sisa hidup yang kumiliki. Kan kuhabiskan waktu untuk terus merindukan hari kita dipersatukan kembali. Tanpa ada lagi secuil pun sesal. Hingga aku bisa mencintaimu dengan sempurna.


Diceritakan oleh Ibu yang tak pernah jenuh menunaikan janji setianya,
setelah 19 tahun kepergian Ayah.

Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

eLPiDiPi Kali Kedua