Empat Kali Menetas

Sudah sepekan kuhabiskan hariku di kampung halaman. Yah. Sebuah desa kecil yang berada di perbatasan provinsi selatan dan barat Pulau yang di peta menyerupai huruf K –desa Pangaparang yang belum setahun memekarkan diri dari dusun. Tak ada perubahan yang begitu signifikan kudapatkan dari tempat pertama kaliku menjenguk bumi ini. Orang-orangnya masih sama –ramah dan perhatian. Hanya saja sudah mulai banyak kudapati rumah yang kerap kali orang sebut “ruko”. Sebuah bukti kemajuan, mungkin. Yang di desa pun akan selalu meniru apa yang ada di kota sana. Kuharap kepribadian mereka tak ikut tergerus bersama bangunan-bangunan baru itu. Semoga.

Pulang ke kampung halaman tentu sudah menjadi ritual wajib bagi para manusia penimba ilmu perguruan tinggi di setiap akhir semester. Tidak terkecuali aku. Sudah lebih empat bulan aku tidak menghirup udara kampung yang telah menjadi saksi selama belasan tahun aku bernapas. Kalau kususun dalam cerita bagaimana kronologi aku akhirnya tiba di ruang keluarga ini dan kembali mengakrabkan jari dengan tuts keyboard, maka ceritanya akan seperti ini:

Sabtu, 11 Januari aku menunggu mobil sewa yang sudah menjadi langganan. Sehari sebelumnya aku telah menelpon pak supirnya untuk menjemputku persis di depan pondokan seperti yang sudah-sudah. Naluri ‘penumpangku’ muncul ketika bunyi klakson bertalu-talu dari arah depan pondokan. Kubuka pintu kamar yang berada di lantai dua. Dan benar saja, mobil Kijang biru tua dengan plat kuning itu sudah memarkirkan diri. Segera kusambar barang bawaanku –tas ransel berisi pakaian, mini bag dengan dua buku yang tidak bisa dibilang tipis mengisinya (bacaan liburan), dan sebuah tas lagi yang kusematkan di bahu kananku yang juga tidak ringan karena berisi laptop. Kukunci pintu dan melayangkan diri secepat mungkin melewati beberapa anak tangga. Tak enak pada penumpang lain yang telah lebih dulu bertengger di mobil. Langkahku yang biasa kecil kini kuperpanjang. Bapak supir segera menyambut tas bawaanku untuk disimpan di bagasi. Hanya tas ransel yang kuberikan. Tak tega rasanya membiarkan buku-buku ini tertindis bersama barang yang lain. Lagi pula mereka bukan milik pribadi –buku ini kupinjam dari salah seorang senior di Sastra Inggris. Jadi sudah sepantasnya mereka kuperlakukan dengan sangat hati-hati.

“Masuk maki, dek. Duduk di tengah.” Seru si bapak supir yang acap kali disapa pak Bolong.

Kudapati diriku duduk di antara dua pria. Seorang pria yang kutaksir sudah berkeluarga berada di samping kiriku. Dan seorang pria muda yang mungkin seusia denganku atau bahkan mungkin lebih muda duduk di samping kananku. Ditambah seorang ibu muda dengan anak balita laki-laki di sebelah si pria muda. Total empat penumpang berada di jok tengah ditambah si balita yang dipangku sang ibu. Aku merasa sangat terjepit. Jangankan bergerak banyak, bernapas pun terasa sangat sulit. Ya Tuhan, percepatlah aku tiba di rumah.

Mobil segera melaju begitu pak supir mengetahui semua penumpangnya sudah berada dalam posisi nyaman yang kuyakin ia pun sadar ini bukan nyaman yang sebenarnya. Pondokanku yang bercat putih itu pun menghilang di balik lorong berkelok. Selamat tinggal Jalan Sahabat. Sampai berjumpa beberapa pekan lagi. Tentu aku akan merindukanmu.

Udara segar dan sejuk segera memenuhi paru-paru begitu meninggalkan jalan Sahabat dan memasuki jalan Poros Kampus Unhas. Pepohonan hijau memenuhi pandangan. Tapi sayang, hanya sekedip mata karena ternyata kami sudah berada di pintu dua meninggalkan kampus menuju jalan Perintis yang merupakan jalan poros provinsi. Udara sejuk pun berganti panas. Kesan damai yang tadi mendominasi secepat kilat digeser oleh hiruk pikuk perkotaan dengan segala suara dan bau khasnya.

Tamalanrea berlalu memasuki Daya kemudian Sudiang. Pak supir meminggirkan dan memberhentikan mobilnya. Rupanya masih ada penumpang! Mau simpan dimana? Sudah jelas jok tengah sudah diisi penuh. Di belakang pun serupa. Sudah diisi dua gadis yang mungkin sebaya denganku. Ditambah seorang anak laki-laki berpenampilan metroseksual yang kurasa sedikit lebih muda dariku. Dan seorang wanita bertampang oriental memangku balita yang mungkin anak atau anak saudaranya. Jadi sudah jelas jok belakang pun tak akan mungkin menerima orang baru. Begitu juga dengan jok depan. Telah dihuni oleh dua perempuan dewasa. Ditambah lagi dengan pak supir. Lalu apa yang ada di benak pak supir? Entahlah akan dikemanakan si ibu yang lagi-lagi juga membawa balita ini. Aku kehabisan akal.

Pria di samping kiriku turun dan membiarkan tempat duduknya direbut oleh penumpang baru itu –yang nampak seperti sanak saudaranya. Lalu apa yang dilakukan oleh pak supir? Ia mempersilahkan si pria tadi berbagi kursi dengannya di balik kemudi. Oh Tuhan. Apa yang sedang dipikirkannya? Ia sedang membawa dua belas nyawa ditambah tiga balita. Total lima belas anak manusia yang mungkin saat ini sedang menghibur diri agar tak memenuhi kepala dengan pikiran buruk. Syukurlah si pria yang duduk bersama pak supir turun jauh lebih awal –Maros awal. Akhirnya bisa bernapas lega.

Pemberhentian berikutnya di toko oleh-oleh khas kabupaten Maros –roti Maros. Perempuan dengan mata sipit yang duduk di belakangku menitip pada pak supir untuk membelikannya roti. Tak sanggup ia untuk bongkar-membongkar saat turun dan kembali ke mobil. Beberapa penumpang sibuk mengantri di depan toilet. Tentu aku masuk dalam deretan orang yang mengantri itu. Inilah penyakitku saat perjalanan jauh. Selalu saja merindukan kamar kecil bernama toilet.

Perjalanan dilanjutkan setelah semuanya selesai dengan urusan masing-masing. Maros berlalu. Kabupaten Pangkep di depan mata. Aku harus menikmati tradisi pulang kampung dengan berhimpit-himpitan ini. Tak lama lagi. Kucoba untuk menghibur diri. Walau begitu, tetap rasanya aku ingin menciutkan diri berubah menjadi liliput dan terbebas dari kondisi menyebalkan tapi tak ada pilihan lain ini. Mau memprotes, mana mungkin. Ini bukan mobil milik pribadi. Pak supir itu tidak dibayar untuk melayanimu seperti tuan putri yang banyak kau saksikan di kotak ajaib yang orang namai televisi. Kau tak lebih dari seorang anak manusia yang butuh tumpangan pulang dan harus jauh lebih bersyukur karena tak menghabiskan waktu menunggu mobil di terminal, melainkan sudah dijemput langsung di depan kamar. Anggap saja ini bagian kecil dari ‘keputrian’ yang sering kau bayangkan –dijemput, jauh lebih baik.

Satu hal yang membuatku bisa bernapas lebih banyak –anak laki-laki yang duduk di kananku sepertinya memiliki hati kapas. Saat aku ingin menyandarkan punggung yang terlalu lelah ini, maka ia pun akan segera bangkit dari posisi nyamannya dan membiarkanku beramah-ramah dengan kursi. Baik sekali kau, kawan. Biar tak mengenalmu, izinkan aku berterima kasih meski tak terucap.

Sepanjang jalan kami disuguhi lagu-lagu pop dari radio mobil yang terbilang bukan lagu baru. Saat ini lagu milik BCL dengan judul Ingkar sedang mengalun di mobil berumur ini. Tidak terlalu buruk untuk siang yang agak mendung ini. Pandanganku kemudian mengembara keluar jendela. Melihat rumah-rumah, gedung-gedung sekolah, masjid, perkantoran, ruko, bank, dan segala yang mengisi mata. Oh. Tidak. Aku teringat akan sesuatu yang terlupa. Isi dompetku tak lebih dari dua puluh ribu. Bagaimana akan membayar sewa mobil ini? Belum sempat kulakukan penarikan di ATM.

Begitu memasuki daerah Barru, mobil dibelokkan menuju sebuah rumah makan yang sudah tidak asing bagiku. Rumah makan yang berada di atas air. Sungguh suasana yang damai. Tapi hatiku tak sedamai itu. Orang-orang dengan semangat laparnya segera mengisi meja yang kosong. Aku dengan hanya bermodalkan dua puluh ribu memilih menyisihkan diri mencari toilet. Begitu selesai dengan toilet kudapati diriku melakukan transaksi dengan perempuan yang beruntung punya senyum indah. Dua belas ribu melayang ditukar dengan sebotol Aqua ukuran sedang dan sebungkus Qtela rasa sapi panggang. Meski tak dapat makan siang yang sewajarnya, perut tetap harus diisi. Aku memilih menghabiskan makanan anginku ini di dalam mobil yang bersuhu tidak dingin dan seorang diri. Menyedihkan. Tapi jauh lebih baik daripada tak makan sama sekali.

Makan siang selesai. Semua pasukan kembali ke posisi semula. Mobil kembali menapaki jalan poros provinsi. Saat melintasi kabupaten Barru, kesan yang selalu sama kudapat –Barru begitu panjang hingga membosankan. Segala yang membosankan pasti tak enak. Dan tak enak juga rasanya bepergian tanpa mengantongi rupiah yang cukup.

“Pak, kalau dapat ki’ ATM BRI di depan tolong singgah sebentar di’.” Lontarku pada si bapak di balik kemudi.

“Oh. Iya dek.” Balasnya dengan sedikit berbalik.

Barru berlalu berganti kabupaten lain –Pare-Pare. Tapi tak ada tanda-tanda si bapak akan memberhentikan mobilnya di depan ATM. Barulah setelah mengisi bensin ia mendapati ATM dengan satu huruf berbeda –BNI. Demi tidak menyetop mobil di banyak pemberhentian, aku iyakan saja untuk memilih ATM yang sesungguhnya bukan ibu dari kartu yang bersemayam di dompetku.

Transaksi selesai. Selembar kertas dengan lima angka nol dan dipimpin angka satu segera membuat hati dibalut rasa lega. Untunglah ada kotak uang yang bertebaran di jalan-jalan. Jadi bisa mengambil rupiah kapanpun dan dimanapun sesuka hati. Terima kasih untuk peradaban yang semakin modern. Sungguh sangat membantu. Entah apa lagi yang akan diciptakan tangan manusia untuk lebih memudahkan dalam urusan uang.

Berbanding terbalik dengan kabupaten Barru, kabupaten Pare-Pare justru terasa sangat singkat. Rasanya masih ingin berada di kota ini, ternyata sudah beranjak ke kabupaten tetangga yang juga merupakan kabupaten asalku –Pinrang. Memasuki area perbatasan kami disuguhi dengan medan yang sedikit membuat perut naik turun karena serupa dengan arena permainan Roller Coaster. Tanjakan dan turunan berkelok membuat perut terasa terkocok.

Selamat bulan Januari Pinrang. Aku telah melewati beberapa kecamatan di kabupaten yang kaya akan sumber daya lautnya. Beruntung kau lahir di kabupten yang punya garis pantai indah di sisi kiri dan pegunungan menghijaukan mata di sisi kanan. Kutarik napas panjang demi merasai oksigen tempat kelahiranku. Tak terasa kecamatan dimana aku menimba ilmu sudah dipijak oleh ban –Kecamatan Lembang. Hanya dalam hitungan menit aku sudah disambut udara desaku. Oh Pangaparang. I’m coming. Sudah empat bulan lebih kita tak bersua. Apa kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja. Ah. serupa lirik lagu.

Tak perlu aba-aba, si bapak dengan sendirinya meminggirkan mobilnya dan mengeluarkan tas ransel hitamku yang hampir berubah menjadi coklat karena debu yang entah datang dari mana. Langsung kuserahkan uang sewa –seperti biasa, enam puluh ribu bersama ucapan terima kasih.

Kuangkat barang bawaanku menyeberangi jalan. Ibu yang kusapa “mama” sudah menyambut di teras rumah. Seorang kawan yang jauh lebih tua dariku meneriaki. Bukan hendak marah. Tapi meminta oleh-oleh Roti Maros. Begitulah tradisi orang-orang di sini. Tahu ada orang yang baru saja tiba dari kota Daeng pasti akan dimintai roti bernama kabupaten itu. Tapi sayang, jangankan untuk beli oleh-oleh, untuk makan siang pun aku tak ada modal gara-gara lupa mengambil uang tunai. Pelajaran moral hari ini: jangan berani-berani bepergian jauh tanpa mengantongi uang tunai, meskipun ada banyak kotak uang ajaib yang berseliweran di jalan.

Sampailah aku di rumah. Memang benar kata orang: rumahku surgaku. Empat bulan lebih lamanya aku tak menginjakkan kaki di surgaku ini. Kalau ayam pasti sudah empat kali pula menetaskan telur-telur yang dierami. Sayang aku bukan ayam. Jadi tak ada telur-teluran.

Bibi dan paman kecilku pun ikut menyambut kedatanganku yang terbilang langka. Bahagia sekali rasanya bisa menjumpai orang-orang terkasih. Kusalami mereka satu persatu. Pamanku yang seorang lagi tak tampak. Pasti sedang ngantor: bergulat dengan lumpur sawah berkawan terik matahari. Untunglah siang ini tak terlalu terik. Setidaknya tak begitu menyiksa harinya sebagai petani padi.

Langsung kulayangkan tubuhku ke tempat tidur tanpa mengganti pakaian. Bersempit-sempitan di mobil membuatku begitu lelah dan ingin mengistirahatkan otot tubuh. Waktu terasa begitu cepat. Rasanya aku baru saja memejamkan mata, rupanya penunjuk waktu di HPku telah menunjukkan aku terlelap selama dua jam. Masih ingin melanjutkan tidur. Tapi tampaknya matahari sudah mulai kehabisan sinarnya dilihat dari ventilasi kamar ini. Kata mama, tidak baik anak gadis tidur sore. Entahlah ia pungut dari lorong mana anggapan itu. Aku yang tak pernah diberi alasan mengapa harus tak tidur di sore hari juga turut saja.

Adalah mandi sore dan shalat ashar yang kemudian menjadi agenda berikutnya. Lagi-lagi shalatku bolong. Tidur siang membuatku meninggalkan duhur. Maafkan aku ya Allah. Begitu selesai aku memilih untuk menyegarkan kepala di teras rumah. Tak sendiri tentunya. Ada mama, paman kecilku yang lebih muda dua tahun dariku, pamanku yang sudah meninggalkan sawah, beserta perempuan berbadan gemuk yang sudah setahun dinikahi pamanku yang dengan sendirinya menjadi bibiku. Inilah kebiasaan di kampungku: bercengkrama bersama keluarga di teras rumah sembari menyapa setiap yang dikenal saat berlalu di depan rumah. Orang-orang di kampungku saling mengenal satu sama lain. Dari rumah satu ke rumah lain. Dari yang dipojok jalan sana ke ujung jalan yang lebih jauh. Semua kenal. Setidaknya kenal nama. Berita tentang seseorang yang melamar seseorang namun ditolak akan cepat menjadi cerita heboh. Mungkin berapa jumlah rambut si A yang rontok dalam sehari pun akan diketahui oleh siapapun di sini. Inilah akibat dari saling mengenal dan memang dituntut untuk mengenal sekampung sendiri. Jika si B memiliki pergaulan yang tak terlalu baik dan lebih sering menghabiskan waktu menjadi manusia kamar, maka ia akan terkucilkan. Aku sendiri hampir-hampir menjadi anak rumahan kalau bukan mama yang terus menasehati supaya memperluas pergaulan.

“Nanti dikira sombong kalau ndak mau bergaul. Orang kayak kita yang hidupnya biasa-biasa saja harus punya teman banyak. Kalau tidur terus bagaimana mau punya teman. Teman itu penting. Ndak diminta’-minta’, tapi kalau dapat masalah kan mereka juga nanti yang tolong.” Ceramah singkat andalan mama kalau sudah muncul ciri-ciri malas dariku untuk keluar rumah. Dan aku pasti akan manut.

Memang benar kata Mama. Kalau sedang bergaul dengan anak-anak tetangga yang juga sebaya denganku, maka topik yang kadang menjadi pembahasan adalah tentang si C yang terlalu sombong. Tidak mau menyapa saat berpapasan di jalan. Jangankan menyapa, senyum pun tidak. Tidak punya pergaulan luas. Dan berbagai topik-topik yang jujur kadang menerbitkan rasa bosan. Meski begitu, aku tetap menjadi bagian dari mereka. Aku sadar, ini adalah kebiasaan yang sudah menjadi tradisi. Dan aku juga membenarkan yang mereka katakan. Karena memang seperti itu adanya. Hanya saja mungkin akan jauh lebih baik jika tidak menceritakan sisi buruk si C, si D, atau siapapun itu. Aku akan sangat senang jika yang menjadi pembahasan adalah kapan bikin acara makan-makan, di rumahnya siapa, atau jalan-jalan ke tempat wisata mana di minggu ini.

Menjelang magrib, pintu-pintu rumah semua akan ditutup. Tak banyak yang beraktivitas di luar. Mungkin hanya segelintir anak muda labil yang bermain gitar di teras rumah si E hingga larut.

Setelah shalat magrib dan makan malam, maka aku dan mama akan menyeberang ke rumah paman yang ada di samping, nyaris bersambungan dengan rumah kami. Aku dan mama hanya tinggal berdua di rumah kecil nan sederhana ini. Adikku Wawan sedang mondok di pesantren yang tak terlalu jauh dari sini. Ia akan pulang saat dapat libur barang dua atau tiga hari. Saat ia ada di rumah bersama mama, aku belum berada di akhir semester. Saat aku melaksanakan ritual wajib akhir semesterku, maka ia sudah kembali ke pesantrennya. Hanya libur bulan Ramadhan yang akan mempertemukan satu keluarga kecil ini.

Saat sudah kembali berkumpul di ruang belakang yang menjadi ruang keluarga, cerita akan panjang. Cerita tentang apa saja. Untuk edisi khusus malam ini, akulah yang menjadi topik utama. Bagaimana kuliahku, apa saja yang kulakukan di luar kuliah, apakah yang kulakukan di luar kuliah itu tidak mengganggu kuliahku, apa aku nyaman dengan kegiatan di luar kuliah itu, apa aku sempat memerhatikan jadwal makan dan istirahatku dengan kegiatan di luar kuliah yang tidak sedikit itu. Dan berbagai pertanyaan lagi yang tak mampu kuingat dan kutulis di catatan ini.

Setelah tercipta hari baru di keesokan hari, aku dan mama berkunjung ke rumah adik mama yang jujur menurutku lebih cocok untuk jadi kakak mama saja. Perempuan berperawakan tinggi besar itu merupakan satu-satunya saudara perempuan mama. Ia tinggal di desa sebelah. Dua desa yang memisahkan. Satu hal yang sangat kusukai saat berkunjung ke rumah bibi: pemandangan laut lepas yang persis berada di depan terasnya. Sayang kali ini ombak terlalu besar. Jadi tak boleh ke pantai dulu kata bibiku.

Hari berikutnya aku dan mama dengan lagi-lagi berboncengan motor –aku yang mengendarai– berkunjung ke rumah nenek buyut. Di desa tetangga. Hanya kurang dari lima belas menit aku sudah bersua kembali dengan nenek yang ia sendiri tak tahu berapa usianya. Menurut orang-orang sudah mencapai seabad. Luar biasa buyut! Aku selalu kagum pada anak manusia yang lahir di zaman Nederland atau Nippon berkuasa. Kisah-kisah heroik yang hanya kujumpai di buku-buku sejarah telah ia dengar dan alami langsung di zamannya.

Aku langsung memeluk dan menciuminya saat bertemu. Dan ia pasti terharu dan selalu terharu saat bertemu dengan cicit pertamanya: akulah orangnya. Ia sudah bercucu puluhan dan bercicit delapan dari dari nenekku ditambah cicit barunya yang belum pernah kutemui: seorang bayi perempuan dari anak kedua buyut. Nenekku sendiri anak pertama. Betapa bahagia menjadi buyut yang bisa menghirup oksigen hingga  cicit-cicit lahir. Semoga panjang umur kau, buyut. Semoga kau masih bisa melihat anak-anak dari cicit-cicitmu yang aku belum tahu apa panggilannya untuk generasi setelah cicit.

Anak-anak dari buyutku yang tidak lain adalah saudara dari nenekku yang otomatis juga menjadi nenekku telah banyak berkumpul di kolom rumah. Mereka memang membangun rumah bersebelah-sebelahan dengan rumah buyut. Hanya nenekku seorang yang meninggalkan kampung kelahirannya demi ikut sang kakek yang dulunya adalah seorang pebisnis yang tidak bisa dibilang biasa-biasa saja kata mama. Nenek-nenekku yang lain selalu menjadikan rumah dan kolom rumah buyut sebagai tempat berkumpul. Satu per satu anak dari nenek-nenekku itu yang merupakan bibi dan pamanku berdatangan. Mulai dari bibi dan paman yang sudah dewasa hingga yang masih balita. Alhasil, penuhlah tempat duduk yang kerap kali kami sebut “pangka’-pangka’”. Di sinilah selalu kami menghangatkan suasana. Aku teringat salah seorang kawan yang pernah kuajak berkenalan dengan keluarga besarku ini. Ia selalu menamaiku “perusak pohon keluarga”. Heran melihatku yang sudah sebesar ini punya paman bibi yang bahkan belum bisa berkalimat. Katanya aku merusak pohon keluarga. Bukan aku yang meminta. Keadaan yang membuatku lahir lebih dulu. Nenekku yang merupakan anak pertama sudah tentu akan punya anak yang jauh lebih tua dibanding saudara-saudaranya. Ditambah lagi mama yang menikah muda karena dijodohkan. Lahirlah aku sebelum paman bibi muda itu lahir. Memang kadang-kadang lucu sekali hidup ini.

Puas bercerita dan menyantap beberapa piring pisang goreng yang baru digoreng juga di kolom rumah saat aku tiba, bibi-bibiku yang paling tua hingga yang paling muda mengajakku untuk “mandi-mandi sungai”. Sebuah tradisi untuk semakin mengakrabkan diri satu sama lain dengan bermain di sungai. Rumah buyut memang sangat dekat dengan beberapa sungai. Kami memutuskan untuk ke sungai yang memiliki air paling dingin.

Memang paling dingin. Rasanya seperti berendam di air yang baru keluar dari lemari es. Gigil pun segera melanda. Oh iya. Mama juga tidak mau ketinggalan. Ialah yang bertugas mengabadikan momen ini dalam sebuah kamera milik bibi tertua kedua yang sedang bersama kami. Bukan hanya berendam dan berenang di sungai jernih ini, mereka juga merabah-rabah bebatuan besar di bawah air demi mencari makhluk kecil bercangkang hitam bernama “cocco”. Aksi ini dipelopori oleh mama yang juga turut membiarkan dirinya terkuliti dinginnya air setelah bosan mengambil gambar. Kami semua berlomba-lomba. Aku hanya berhasil mendapatkan dua ekor.

Setelah semuanya merasa hampir beku karena kedinginan, kami memutuskan pulang. Kembali mandi. Tentu dengan sabun. Karena hari yang sudah mulai gelap, aku dan mama memilih untuk menginap semalam di rumah buyut. Makan malam ditemani “cocco” hasil tangkapan tadi sore semakin memeriahkan suasana malam yang ramai ini. Buyut juga tak ketinggalan ikut makan bersama kami. Hangat sekali. Bukan udaranya. Melainkan suasananya.

Setelah menghabiskan hari di rumah buyut, aku kembali ke rumah. Menghabiskan hari-hari menjadi manusia kamar yang berkawan buku. Untunglah sudah ada persiapan mengisi hari libur. Hari-hariku tak terlalu hampa dengan buku-buku itu. Membaca dan nongkrong di teras rumah menjadi rutinitas selama seminggu ini. Aku sedikit kehilangan kawan bergaulku. Mereka yang sebaya denganku juga sedang belajar di perguruan tinggi. Dan liburan akhir semester kami tidaklah bersamaan. Meskipun kadang kami berjumpa untuk waktu-waktu tertentu.

Setelah mengembara ke beberapa hari silam, sampailah aku pada akhir catatan ini. Entah masih berapa lama lagi aku di sini. Sampai puas mungkin. Liburan masih seminggu lebih. Mungkin memang akan lebih baik kalau menerjunkan diri di dapur belajar memasak seperti pesan seseorang padaku. Agak malu juga rasanya sudah sembilan belas kali musim hujan aku menghirup oksigen tapi belum pandai juga meracik bumbu-bumbu.


Pangaparang, 19 Januari 2014
Saat terik mulai kehilangan cahayanya

Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

eLPiDiPi Kali Kedua

Super Tri