Andrea Hirata, Akhirnya

“Jika anda tak mampu mengubah sistem, maka ubahlah diri anda.”


Pernahkah kalian bermimpi untuk bertemu dengan seseorang? Seseorang yang saat kalian memikirkan sosoknya atau mendengar namanya kalian merasa seperti ada suntikan energi dan semacam ada rasa sesak yang bersemayam di dalam dada. Seseorang yang benar-benar ingin kalian temui sebelum napas tercekat. Jika iya, maka kita sama. Aku juga memiliki seseorang yang teramat kuidolakan hingga membuatku menuliskan namanya dalam daftar resolusi hidupku; bertemu dengan Andrea Hirata, resolusi ke-28.

Lalu sudahkah kalian bertemu dengan tokoh idola kalian? Jika belum, maka aku lebih beruntung dari kalian. Beberapa waktu silam takdir akhirnya mempertemukanku dengannya melalui skenario yang begitu apik. Akan kukisahkan bagaimana mimpi itu terwujud.

Aku harus bersyukur menjadi salah satu penerima beasiswa yang paling banyak diburu abad ini di Indonesia; LPDP. Mungkin kalian tahu bahwa semua awardee harus mengikuti pembekalan atau yang lebih akrab disebut PK (Persiapan Keberangkatan). Di sinilah awal mula takdir menggiring kami.

“Siapa yang mengidolakan Andrea Hirata?” Sebuah pertanyaan terlontar dari PIC PK.

Sontak aku mengangkat tangan secepat mungkin tanpa ragu. Kulihat sekeliling, hampir semua melakukan hal yang sama denganku.

“Oke. Besok kita undang Andrea Hirata.”

Ruangan ramai dengan sorak bahagia dari peserta. Aku bersorak dalam hati. Bahagia, tentu saja. Khawatir, juga pasti. Bagaimana tidak, tokoh-tokoh yang dihadirkan bukanlah orang-orang dengan agenda minim. Kehadirannya pun masih dalam konfirmasi. Tak terkecuali bang Andrea. Namun doa tak henti kurapalkan agar esok bang Andrea benar-benar hadir di hadapanku.

Tak seperti tamu undangan lain yang harus disambut meriah dengan berbagai penampilan, bang Andrea justru menolak hal-hal seperti itu. Itulah yang kudengar dari kawan-kawan hingga tak ada sedikit pun gladi untuk menyambut tokoh kita ini. Katanya, bang Andrea tengah dalam perjalanan. Namun aku masih saja berharap-harap cemas. Hatiku tak karuan. Bagaimana jika ia tak jadi datang, jangan terlalu berharap. Ujarku membatin.

Berselang beberapa waktu kemudian, pintu terbuka. Semua peserta berdiri. Sesosok manusia yang selama ini hanya bisa kulihat di buku, di internet, dan di TV, hari ini aku menyaksikannya langsung. Ramai seisi ruangan dengan tepuk tangan seirama yang didampingi suara musik tempo cepat. Tapi aku merasa tepukanku melambat. Suara musik memelan hingga terdengar samar-samar. Pandanganku memburam, kecuali padanya. Tatapanku hanya terfokus padanya. Senyum yang sangat khas darinya terkembang. Raut wajah itu, wajah penuh cinta. Tak mampu kutahan genangan air di dalam mataku. Ia tumpah tanpa seizinku. Cepat-cepat kuhilangkan jejaknya. Namun tumpah lagi. Begitu berkali-kali hingga ia tiba di kursinya. Kami pun duduk di kursi masing-masing. Pelan-pelan kukuasai diriku. Aku terlalu bahagia.

Singkat cerita, sesi materi pun dimulai. Jika pemateri lain membiarkan kami duduk dengan kursi berjarak, maka bang Andrea meminta kami duduk melingkar dan merapat di kursi masing-masing. Jika pemateri lain menggunkan layar fokus untuk menyampaikan isi slidenya, maka bang Andrea memasang kertas serupa kalender berlembar-lembar yang jika kalian selesai menulis maka kalian bisa membuka lembar selanjutnya (aku tak begitu tahu nama papan dan kertas itu). Ia memang berbeda. Sama seperti yang kubayangkan. Juga bersahaja. Persis seperti yang selama ini di benakku.

Andai kami diperbolehkan memegang handphone saat sesi materi, tentu tak terhitung gambar wajahnya yang kupotret. Namun sayang, itu hanya andai. Sebagai gantinya, tak kulepas balpoin dan notesku selama ia berbicara di depan sana. Tak kubiarkan sedikit pun kalimat meluncur begitu saja tanpa kupindahkan dalam bentuk tulisan. Setiap katanya penuh arti. Tak sedikit pun terlontar tanpa makna.

Selama sesi belangsung, aku seperti mendapat semangat baru. Dorongan yang begitu kuat untuk menjadi apa yang seharusnya aku inginkan, yang membuatku nyaman. Juga beberapa kalimat yang cukup menyentil terhunus ke relung-relung di dalam sana. Seperti saat bang Andrea membicarakan tentang rutinitas. Menurutnya, rouitnist adalah pembunuh intelektual dan bakat manusia. Dengan kata lain, ia ingin menyampaikan bahwa jauh lebih baik jika kita menciptakan sendiri zona yang tepat dengan pandangan kita tanpa harus terjebak dalam sistem yang bisa membunuh intelektualitas dan bakat kita sebagai manusia. Jika tak mampu mengubah sistem maka ubahlah diri, yang juga berarti jika tak mampu mengubah sistem maka keluarlah menemukan duniamu. Tak mudah memang, tapi itulah langkah untuk benar-benar bisa menikmati hidupmu.

Menjelang akhir sesi pun bang Andrea tak berhenti memberi pesan. Buat dirimu didengar dimana-mana, contohnya menulis buku. Malu sekali aku dengan diri sendiri. Sampai saat ini sudah berapa tulisan yang kuhasilkan? Jangankan buku, menulis di blog saja terlampau sering kuulur, terlalu malas, tak ada semangat. Menyedihkan sekali.

Hari yang teramat penting ini tak akan pernah terlupa. Bertemu bang Andrea, mendengarkan pengalaman-pengalamnnya, imu-ilmunya, pesan-pesannya. Sungguh hari yang membahagiakan.

Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

eLPiDiPi Kali Kedua

Suamiku