Mengapa Baru Sekarang, Totto-Chan?


Mungkin agak terlambat mengenal Totto-chan. Buku ini sudah ada sejak 1980-an, zaman ibuku masih sekolah. Cukup klasik. Rilis di Indonesia sekitar tahun 2000-an jika tak salah. Aku sendiri baru mengenalnya di tahun 2013. Lebih dari 30 tahun sejak buku ini ditulis! Waktu itu ada seorang senior jurusan Sastra Jepang yang se-UKM denganku di Radio Kampus sering bawa buku ini kemana-mana. Katanya, Totto-chan adalah objek penelitiannya. Tak hanya itu, Totto-chan juga sering kudapati nangkring di berbagai sudut lapak buku mahasiswa di kampus. Namun tak pernah sedikit pun muncul rasa penasaran untuk membacanya. Kupikir buku ini hanya buku anak-anak. Atau mungkin kisah tentang anak kecil yang tak begitu penting.

Berselang beberapa tahun kemudian, tepatnya beberapa pekan yang lalu seseorang menghadiahkannya untukku. Katanya, ini buku pendidikan. Cukup lama ia teronggok di atas meja. Baru beberapa hari yang lalu kuberi label sebagai koleksi dan kubungkus plastik seperti koleksi buku yang lain. Itu pun tak langsung kubaca. Hingga akhirnya peringatan hari guru tiba di tanggal 25 November kemarin. Dua hari setelahnya, postingan peringatan hari guru masih berseliweran di media sosial. Aku langsung terpikir, mengapa tidak membaca buku yang berbau pendidikan lalu menulis sedikit hasil bacaanku. Kemudian teringat buku Totto-chan yang katanya adalah buku pendidikan.

Kumulai dengan sampul bagian belakang. Sepertinya ini memang buku pendidikan, ucapku membatin. Kemudian kubuka halaman pertama hingga aku tak sadar telah hampir membaca setengahnya. Oh tidak, apa yang telah kulakukan pada Totto-chan. Aku telah berprasangka buruk padanya. Ini bukan buku anak-anak. Apalagi kisah tentang anak kecil yang tak begitu penting. Ini sungguh buku yang tidak seharusnya kuabaikan. Mengapa baru sekarang aku membacanya? Aku hampir saja melewatkan satu santapan lezat. Buku ini memang berkisah tentang seorang gadis cilik bernama Totto-chan yang tak lain adalah Tetsuko Kuroyanagi, penulis yang mengisahkan masa kanak-kanaknya.

Totto-chan dikeluarkan dari sekolah saat masih duduk di bangku kelas satu SD. Alasannya, ia anak yang sering mengacau, suka berada di jendela dan memanggil pemusik jalanan saat jam pelajaran, juga membuka tutup meja belajarnya. Itu pendapat gurunya. Mama pun memindahkan Totto-chan ke sekolah baru tanpa sepengetahuan Totto-chan bahwa ia dikeluarkan. 

Tomoe Gakuen adalah sekolah baru Totto-chan. Ia begitu terperangah melihat gerbong-gerbong kereta yang menjadi gedung sekolahnya. Juga sangat senang bertemu dengan Sosaku Kobayashi, kepala sekolah yang begitu hangat. Petualangan Totto-chan dengan berbagai hal baru pun dimulai di Tomoe Gakuen.

Tomoe Gakuen adalah sekolah yang unik. Anak-anak belajar di gerbong kereta dengan jendela terbuka. Mereka bisa dengan leluasa memilih urutan pelajaran sesuai yang mereka inginkan. Ada pelajaran 'jalan-jalan' dimana anak-anak berjalan-jalan didampingi guru sambil belajar sains dan sejarah tanpa mereka sadari. Untuk makan siang anak-anak diminta untuk membawa 'sesuatu dari laut dan sesuatu dari pegunungan'. Kepala sekolah selalu berkeliling melihat bekal makan siang yang dibawa anak-anak. Jika ada anak yang hanya membawa makanan dari laut, maka kepala sekolah akan meminta istrinya untuk menyendokkan makanan dari wajan 'pegunungan', begitu juga sebaliknya. Berbagai kegiatan unik dan menyenangkan juga selalu diadakan. Sekolah ini membuat Totto-chan selalu tak sabar menunggu hari esok untuk segera tiba di Tamoe.

Tak hanya akademik, banyak pelajaran berharga yang ada di Tamoe. Tentang persahabatan, tanggungjawab, toleransi, saling menghargai, dan menjadi diri sendiri.

Buku ini sangat cocok dibaca bagi yang berkecimpung di dunia pendidikan. Kita bisa melihat bagaimana Sosaku Kobayashi membentuk anak-anak didiknya dengan berbagai metode yang tak biasa dan perlakuan yang selalu membangkitkan kepercayaan diri. Buku ini mengajarkan kita bagaimana seharusnya menjadi seorang pendidik yang baik. Bukannya malah memberi cap nakal kepada anak, tetapi menyelami mereka lebih dalam karena setiap anak memang unik. Tugas kita membantu mereka tumbuh dan menemukan bakatnya.

Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

eLPiDiPi Kali Kedua

Suamiku