Bumikan Sastra, Tuai Kebaikan

Cukup lama aku tidak bermain instagram. Hari ini terpikir untuk mengunggah sebuah foto. Lalu scroll down di timeline sendiri. Sekadar nostalgia dengan foto lama. Jariku lalu terhenti di foto kenangan setahun yang lalu. Pertemuan tak terduga dengan bang Andrea Hirata—kisah ini bisa dibaca di http://www.reskiawatianwar.my.id/2017/11/andrea-hirata-akhirnya.html. Kemudian kutengok rak bukuku yang sepi pendatang baru. Mencari-cari karya bang Andrea. Beberapa masih bertengger rapih. Selebihnya dipinjam orang dan tak pulang-pulang. Aku kemudian teringat kapan pertama kali membaca karyanya. Sewindu yang lalu jika tak salah. Saat masih imut-imut dengan seragam abu-abu putih. Tetralogi Laskar Pelangi. Inilah karya fenomenal bang Andrea Hirata. Kutemukan novel-novel ini di rak buku perpustakaan sekolah. Saat ada jam pelajaran kosong, pastilah perpustakaan jadi tempat nongkrong favorit.

Kalau mengingat novel-novel bang Andrea, mestilah nuansa Melayu merebak bersama komedi khasnya. Tak hanya itu, tulisannya juga selalu mengusung tema humanis yang sarat akan nilai-nilai moral. Di salah satu Tetralogi Laskar Pelangi—aku lupa buku yang mana—mengajarkanku satu hal yang tak akan pernah kulupa. Bang Andrea mendeskripsikan tokohnya sebagai seorang pembuat kopi yang tak melihat sedikit pun keistimewaan dari profesinya. Namun lewat kisah ini, bang Andrea sukses menggambarkan betapa semua profesi di muka bumi ini adalah mulia, selama masih berpegang teguh pada tapak yang lurus. Sejak saat itu aku semakin menghargai pak supir pete-pete yang setiap pagi mengantarku ke sekolah, apa jadinya aku jika tanpa profesi ini. Juga ibu-ibu pemilik toko kelontong dekat rumah yang mempermudah ibu-ibu lainnya memperoleh bahan-bahan kebutuhan rumah tangga. Aku dengan mudah menemukan berbagai kebaikan dari setiap profesi yang kujumpai. Yang kemudian kukaitkan dengan pelajaran sosiologi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tak bisa hidup sendiri.

Lihatlah betapa kuatnya sebuah karya sastra mengubah cara pandang seseorang. Wicaksono (2016) dalam tulisannya mengungkapkan hal serupa, bahwa melalui karya sastra, nilai-nilai moral dalam kehidupan meresap menjadi pengetahuan yang kemudian menjadi buah pikiran dan emosi pembaca. Emosi mampu melahirkan tindakan, dan tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan membentuk karakter.

Jika saja semua sekolah di negeri ini menjadikan novel Andrea Hirata sebagai bacaan wajib, pastilah akan banyak remaja dan anak-anak yang berempati tinggi. Tak menutup kemungkinan novel-novel lain juga memiliki kekuatan serupa. Namun novel-novel Andrea Hirata telah mendapat posisi istimewa di banyak tempat. Sebut saja Laskar Pelangi, novel ini menjadi referensi kuliah sastra universitas di Australia, juga menjadi bacaan populer di Brazil, seperti yang dikutip dari indonesiaproud.wordpress.com. Bahkan konon katanya, novel international best seller yang telah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa asing ini telah menjadi santapan wajib bagi pelajar di beberapa sekolah di luar negeri. Kisah perjuangan hidup dalam novel ini tentu dapat menjadi inspirasi bagi setiap yang membaca. Terlebih bagi anak-anak dan remaja yang terbilang sebaya dengan tokoh-tokoh dalam novel Tetralogi Laskar Pelangi.

Sudah saatnya kita bumikan karya sastra dengan mendorong generasi muda membaca lebih banyak buku. Jangan sampai bacaan-bacaan berkualitas karya anak bangsa—misalnya—hanya dinikmati anak-anak dari belahan dunia lain, atau hanya teronggok begitu saja di rak buku hingga tertimpa debu bersenti-senti.


Referensi
Wicaksono, Andri. 2016. Kearifan pada Lingkungan Hidup dalam Novel-Novel Karya Andrea Hirata       (Tinjauan Strukturalisme Genetik). Jentera, Volume 5, Nomor 1.
--------------, 2012. Novel Laskar Pelangi Jadi Bacaan Populer di Brazil.
      indonesiaproud.wordpress.com

Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

Suamiku

eLPiDiPi Kali Kedua