Memori Daun Kelapa



Seberkas cahaya merayap masuk melalui ventilasi kamarku. Sedikit menyilaukan mata hingga membangunkanku. Kuregangkan seluruh tubuh dalam keadaan berbaring. Sepertinya cuaca di luar sangat cerah, berbanding lurus dengan suasana hatiku hari ini. Sayang sekali jika aku melewatkan hari seindah ini hanya untuk bermalas-malasan di balik selimut.
            Aku bangkit dari tempat tidur. Kubuka daun jendela selebar mungkin. Kupenuhi oksigen pagi paru-paruku. Oh. Menyegarkan sekali. Ke mana-mana mata memandang yang tersaji hanyalah menu pemandangan laut yang terhampar luas. Menyenangkan sekali menempati rumah yang seolah-olah setiap hari berlibur. Baiti jannati, rumahku adalah surgaku. Tempat aku menata hari untuk masa depan. Sudah tiga tahun terkahir aku menghuni surga kecil ini.
            Lari pagi di tepi pantai ditemani lembutnya hembusan angin pagi dan suara ombak sepertinya menjadi pilihan yang tepat mengisi hari libur. Tanpa pikir panjang, segera kulayangkan diriku ke sana. Dan benar saja. Selain badan kembali bugar, lelah dengan berbagai aktivitas yang kadang menjenuhkan, pikiran juga menjadi lebih fresh. Semilir angin menampar-nampar wajahku. Ombak bergulung-gulung seakan berlomba untuk tiba di bibir pantai. Jejak-jejak kaki manusia tertinggal di atas pasir basah akibat ulahku.
            Setelah jogging, mandi, dan sarapan, kudapati diriku terduduk di serambi rumah seraya membuka-buka halaman koran di temani secangkir teh dan sepiring pisang goreng hangat. Oh. Nikmat sekali rasanya. Teh manis untuk hari yang manis pula. Jarang sekali aku bisa menghabiskan hari sebaik ini.
            Seperti hari-hari biasanya, aku selalu tak mau ketinggalan berita terupdate. Koran hari ini sungguh mengejutkanku. Aku tertegun sejenak menyaksikan apa yang ada di depan mataku. Kulihat sosok seorang wanita dengan segudang prestasi dan kesuksesannya tertera di dalam koran yang sedang kubaca. Wajah wanita ini sangat familiar, sudah sangat tidak asing lagi bagiku. Dia Arini Yuninda Putri, teman SMA-ku, sahabat karibku.
            Seketika aku terlempar pada kisah hidupku belasan tahun yang lalu. Well, let’s count, dua belas tahun yang lalu. Awal perkenalanku dengan Rini, begitu sapaan akrabnya, dimulai saat tengah menjalani sesi yang diberi merk MOS, Masa Orientasi Siswa.
***
            Hari itu aku terbirit-birit menuju kamar mandi. Tidak ada yang lain di benakku saat itu selain mandi secepatnya dan bergegas ke sekolah. Lalu berangkatlah aku dengan masih berseragam SMP. Lengkap dengan kaos kaki berwarna merah dan kuning, topi kerucut yang terbuat kertas manila, dasi kupu-kupu, ikat pinggang dari tali raffia, dan segala pernak-pernik lainnya.
            Matahari pagi sudah menyongsong tinggi menyunggingkan senyum hangatnya. Motor yang kukendarai melesat dengan kencang. Sesekali kulirik jam tanganku. Ah. Aku benar-benar terlambat.
            Sepanjang jalan aku menjadi pusat tontonan. Bagaimana tidak, penampilanku yang aneh persis orang gila yang baru saja membawa kabur motor orang kontan menarik orang-orang untuk menyaksikan adegan gila ini. Tapi aku biasa saja. Ini kan memang sedang trend di tahun ajaran baru. Sedang masanya. Begitu pikirku.
            Setibanya di sekolah, tentu aku menjadi sasaran empuk para panitia MOS. Dengan tatapan menikam, aku diperintahkan menuju sebuah ruangan yang di dalamnya diseret semua siswa baru yang berani melanggar dan akan dihakimi. Aku ingat betul badanku pegal berhari-hari setelah melaksanakan perintah yang membuatku sebal setengah mati.  Tampaklah pancaran wajah-wajah pasrah, patuh, dan penurut. Aku ikut bergabung dengan mereka.
            Di sanalah aku berkenalan dengan Rini.
            “Hai. Aku Nurdin,” ucapku setengah berbisik seraya mengulurkan tangan.
            “Hai. Rini,” sambutnya dengan suara lembut lalu mengembangkan senyum ramahnya. Dan dihiasi oleh bunga lily yang bermekaran di kepalanya. Oh bukan. Tapi pita-pita berwarna merah, kuning, dan hijau yang mengikat kuncir-kuncir rambutnya.
            Sibuk mengobrol dengan Rini, kakak panitia juga sibuk mengomel dan menceramahi kami.
            “Ini baru hari pertama, kalian sudah berani membuat pelanggaran.” Cerocos kakak panitia dengan garang. Malas sekali aku mendengar ocehan dan melihat tingkah mereka yang berlaga.
            Pertemanan kami ternyata tidak berakhir seiring dengan berakhirnya MOS dengan segala sebal-senangnya. Hari itu aku bertemu Rini di depan kelas saat mencari-cari nama siswa baru yang tertempel di depan pintu. Rupanya kami ditempatkan di kelas yang sama.
            “Hai Din. Kamu juga di indeks tujuh yah? Wah senangnya kita bisa sekelas.” Sapanya seraya melemparkan senyum Nikita Willy-nya. Dan tentu saja kubalas dengan senyum Rezky Aditya-ku.
            “Hai. Iya.” Kebetulan yang menyenangkan saat mengetahui kita berada di kelas yang sama dengan orang yang sebelumnya telah dikenal. Meski kami belum lama kenal, tapi kurasa aku dan Rini bisa menjadi teman baik.
            Terkaanku benar. Tidak membutuhkan waktu lama, title sebagai sahabat telah kuraih. Kami berteman sangat akrab. Ke mana-mana bersama. Entah itu ke kelas, ke kantin atau ke perpustakaan. Kami selalu terlihat kompak hingga tak jarang kami dihujani gosip satu sekolah kalau kami menjalin kedekatan lebih dari sekedar teman. Baik Rini maupun aku sendiri tidak pernah menggubris berita itu. Kami santai saja hingga gosipnya reda sendiri.
            Selain di sekolah, kami juga acap kali menghabiskan waktu bersama di luar. Hampir setiap hari aku menjemput dan mengantarnya pulang dengan motor bututku. Tapi ia tidak pernah segan atau pun malu meski ia berasal dari keluarga yang tergolong berada. Aku kagum akan karakternya yang demikian itu. Dia tidak pernah memilih-milih teman. Satu lagi hal yang mebuatku terkagum-kagum. Rini juga gemar menorehkan prestasi. Selain tergabung dalam tim debat bahasa Inggris di sekolah, ia juga sering menjadi juara olimpiade Astronomi di tingkat nasional. Dia benar-benar haus prestasi. Tidak ada yang dia lewatkan. Nilai raportnya juga selalu bagus. Sosok yang nyaris perfect.
            Kadang kami janjian ke toko buku, makan bersama, atau sekedar jalan-jalan ke pantai. Rini sangat menyukai pemandangan dan suasana pantai.
            “Indah sekali yah pemandangannya. Rasanya plong melihat laut lepas. Beban seperti hilang seketika.” Tak henti-hentinya Rini berdecak kagum.
            “Iya. Kamu benar, Rin.” Aku yang dulunya belum akrab dengan pantai mulai terkontaminasi virus yang menyerang Rini, fantaino virus.
Kami sangat betah duduk di dekat pohon kelapa yang daunnya menari-nari diterpa angin, seolah tak mau kalah dengan debur ombak. Menghabiskan waktu di pantai pun menjadi ritual wajib kami di akhir pekan hingga hari berangkat senja.
            Tahun demi tahun kami lalui sebagai sepasang sahabat yang awet. Suatu waktu aku merasakan hal yang aneh pada Rini yang kemudian kudefinisikan sebagai rasa cinta. Dia gadis pertama yang berhasil merebut singgasana hatiku. Tapi tidak ada niat untuk menyampaikan apa yang kurasakan. Aku takut akan meretakkan hubungan kami. Takut ia tidak merasakan hal yang sama. Dan kubiarkan saja bunga rasa itu tumbuh di taman hatiku meski tak pernah tersiram.
            Hari kian berganti. Ujian Nasional sudah membayang-bayangi kami sebagai siswa kelas tiga. Dan tak terasa perpisahan kelas tiga juga sudah di depan mata. Aku senang bercampur sedih. Senang karena sebentar lagi akan menyambut masa depan menjadi manusia yang dewasa. Sedih karena dengan berakhirnya masa yang kata orang-orang masa yang paling indah dalam hidup, itu berarti berakhir pula kebersamaanku dengan Rini. Setelah menamatkan SMA, Rini berencana melanjutkan kuliahnya di Sorbonne.
            Perpisahan yang selama ini aku takutkan terjadi juga. Rini meninggalkanku demi mengejar cita-citanya. Hari itu aku mengantar keberangkatannya ke bandara. Ia sempat mengucapkan salam perpisahan.
            “Din. Aku pergi dulu yah. Kamu hati-hati di sini.”
            “Kamu yang hati-hati di negeri orang. Jaga diri baik-baik.” Balasku dengan perasaan yang seperti dijatuhkan dari ketinggian seribu lima ratus kaki di atas permukaan laut, jatuh menghantam batu karang.
Di sanalah terakhir kalinya perjumpaan kami. Sejak saat itu kami lose contact. Dia tidak pernah membalas pesanku entah itu di e-mail ataupun di jejaring sosial. Sosok Rini pun menghilang dari kehidupanku. Kami sepasang sahabat yang expire karena ruang dan waktu.
Aku sedang disibukkan dengan segunung tugas di salah satu perguruan tinggi negeri sebagai mahasiswa Hukum ketika aku bertemu dengan Isma, teman SMA-ku yang juga sahabat Rini. Kami pun terlibat dalam perbincangan yang cukup serius. Perbincangan yang akhirnya merembet pada Rini.
Sebuah fakta mencengangkan kudengar dari Isma. Ternyata Rini pernah merasakan hal yang sama kepadaku. Tapi ia berusaha menepis rasanya karena berbagai ketakutan yang juga dirasakannya.
Biarlah perasaan ini kukubur dalam-dalam. Biarlah memori daun kelapa dan semua kenangan tentangnya hanya menjadi cerita hati di antara kami. Biarlah ini menjadi setitik noda yang pernah mewarnai kisah persahabatanku dengan Rini.
Aku sadar bahwa benar yang dikatakan orang, tidak ada hubungan persahabatan sejati antara perempuan dan laki-laki. Sejak saat itu tidak ada lagi Rini yang lain. Aku juga sudah bertekad untuk melupakannya. Melupakan perasaan ini. Membuangnya jauh-jauh. Step by step, perasaan yang dulu pernah mekar di hatiku pun layu. Dan kupastikan telah mati.
***
“Serius sekali baca korannya. Ada berita apa hari ini?” Tiba-tiba seorang wanita bergamis coklat muncul dari dalam rumah dan menyusulku duduk di samping meja yang ada di sampingku.
“Seperti biasa. Masih seputar kasus politik yang meranah di negeri tercinta.” Gumamku menjelaskan.
Perempuan yang telah dipilihkan sang Maha Pencipta untukku ini telah mendampingiku selama dua tahun. Sebelum menjadi imamnya, aku telah bercerita banyak tentang Rini padanya. Demi menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk, enggan aku mengungkapnya hari ini. Tidak juga besok. Dan tidak akan lagi. Telah kupastikan dialah bidadariku.***

Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

eLPiDiPi Kali Kedua

Super Tri