Tanpa Judul
Malam kian pekat. Tapi Nahla, Oci,
dan Rini masih sibuk tertawa cekikikan di ruangan sempit yang dikenal dengan
nama kamar kost. Ketiganya sering melakukan hal semacam itu saat tidak ada
kuliah pagi. Mereka menghabiskan malam dengan banyolan-banyolan yang terbilang
belum layak untuk ditampilkan di OVJ, salah satu acara komedi yang menjadi
acara favorit pemirsa belakangan ini. Atau sekedar menonton film romansa yang
menguras air mata.
Awalnya mereka bertiga tinggal dalam
satu kamar sebelum akhirnya Nahla mendapat kamar kosong di tempat kost yang
sama. Mereka tidak benar-benar berpisah.
Hanya Nahla seorang yang pindah. Kamar berukuran tiga kali tiga meter memang
terlalu sempit untuk dihuni oleh tiga orang sekaligus. Sementara Oci dan Rini
masih berada di kamar yang sama. Oci sempat berniat untuk mencari tempat kost
lain, berhubung kamar di tempat mereka sudah penuh. Tapi Rini menahan Oci. Ia
mengaku tidak berani kalau harus tinggal sendiri. Rini memang lebih senang kalau
tinggal beramai-ramai. Oci pun mengurungkan
niatnya untuk pindah.
Hampir tengah malam mereka bertiga
sibuk memindahkan barang-barang Nahla layaknya korban bencana banjir yang
sedang mengungsi. Nahla benar-benar merasa lega dan bebas melakukan apa saja di
kamar barunya setelah sebelumnya ia harus meminta izin dan persetujuan dari Oci
atau pun Rini untuk menempel sesuatu di kamar mereka bertiga. Kini ia bisa
sesuka hati melakukan apa saja yang diinginkannya. Dan benar saja, baru sehari
menempati kamar barunya, semua sisi dari dinding kamar sudah ia tempeli
berbagai macam hiasan. Nahla memang memiliki jiwa keindahan dan seni. Berbeda
dengan Oci dan Rini. Setelah Nahla hengkang dari kamar mereka, keduanya hanya
sibuk memindahkan barang ke sana kemari tanpa perduli bagus tidaknya tata letak
seisi kamar. Tak jarang Nahla harus turun tangan hanya untuk memberi instruksi.
Meski terpisah kamar, mereka tetap
rajin berkumpul. Makan besama atau tidur bersama masih sering mereka lakoni
bertiga. Walaupun frekuensi kebersamaan dengan Nahla memang berkurang. Tapi
kedekatan yang terjalin di antara ketiga dara muda ini sudah sangat kuat
sehingga membuat ketiganya merasa cacat tanpa kehadiran salah satu dari mereka.
Mereka sudah berteman sejak duduk di
bangku yang kata orang-orang masa paling indah dalam hidup. Seperti sebuah
judul lagu, putih abu-abu. Kedekatan mereka semakin menempel saat menyandang
status sebagai mahasiswa. Diterima di perguruan tinggi yang sama adalah hal
yang tidak pernah mereka duga sama sekali. Kekompakan pun semakin terjalin.
Semakin larut semakin seru saja
topik perbincangan. Kali ini kamar Oki dan Rini yang menjadi TKP.
“Ada yang tahu kenapa matahari
terbit dari arah timur?” tanya Oki memulai banyolan ringannya. Oki memang
memiliki selera humor paling baik di antara mereka.
Terdengar suara “mmm..” dari Rini.
Tampak keduanya berpikir.
“Karena tenggelamnya di barat, jadi
harus terbit di timur,” sahut Rini seadanya.
“Belum tepat. Ada jawaban lain
tidak?” gumam Oki sambil menatap Nahli dan Rini bergantian.
Tampak Nahli memukul-mukulkan jari
telunjuk ke dagunya sambil masih berpikir.
“Karena barat, utara, dan selatan
menolak. Cuma timur yang bersedia jadi tempat terbitnya,” lontar Nahli dengan
yakin.
“Ah. Bukan. Menyerah saja!”
Lagi-lagi bukan itu jawaban yang diinginkan Oki.
“Karena kalau
dari barat, sekarang kita bertiga sudah tidak bernapas. Kalian sudah ada di
neraka. Hahaha.” Terang Oki disertai gelak tawa yang jika dihadapkan pada
mikrofon akan memenuhi seluruh lapisan tempat kost di sekitar mereka.
“Kalau kita di
neraka, kau dimana?. Oh aku tahu. Kau ada di lantai paling elit, di lantai
tujuh yang super panas dan tersiksa,” ucap Nahli tertawa geli.
“Hei. Stop
bertingkah kekanak-kanakan seperti itu. Surga dan neraka tidak boleh dijadikan
mainan,” jelas Rini yang selalu menjadi penengah.
“Ini kan cuma
teka-teki, non. Ndak usah terlalu serius. Hehe,” timpal Oki.
“Oke oke.
Sekarang tidur saja. Kalian tidak mengantuk?” gumam Rini lalu menggelar kasur
tidurnya.
Sepertinya
malam ini Nahli akan tidur di sini, di kamar Oki dan Rini. Rini menggeser
kasurnya agak ke pinggir dekat dinding.
“Saya tidur
duluan yah,” sahutnya lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur.
“Iya. Selamat
malam. Mimpi indah,” kata Oki sembari bangkit dari duduknya memastikan pintu
terkunci.
“Tidur di sini
kan, Nal?” tanya Oki.
“Iya,” jawab
Nahli singkat lalu membenamkan wajahnya ke bantal di samping Rini yang sudah
mulai merayap ke rawa mimpi.
Oki menggelar
kasur tidurnya di dekat Rini agar Nahli juga kebagian tempat tidur. Kini Nahli
berada di tengah mereka.
Lampu dimatikan
ketika sebelumnya Oci menutup jendela sembari melirik rembulan yang
bergelantungan di langit hitam. Oci ikut membaringkan tubuhnya. Tapi kantuk
belum mendera keduanya. Hanya Rini memang yang tidak pernah kuat tidur terlalu
larut. Mereka tidak pernah segan berbincang meski tahu Rini sedang berada di
alam bawah sadar. Rini tidak akan pernah terganggu dengan keributan di
sekitarnya kalau sudah melayang ke angkasa mimpi. Pernah ada keributan di
tengah malam. Seseorang menggedor-gedor pintu kamar salah seorang pemghuni kost
di tempat mereka. Orang itu memaki-maki tidak jelas si pemilik kamar. Hal ini
kontan membangunkan semua penghuni kost. Tidak terkecuali Oki dan Nahli. Tapi
berbeda dengan Rini. Ia masih saja tertidur pulas. Baru keesokan harinya ia mengetahui
peristiwa malam itu setelah diceritakan panjang lebar oleh Nahli dan Oki yang
sengaja mendramatisir cerita.
“Nal, menurutmu
apa mungkin aku bisa mengambil S2 Arkeologi di Jerman?” tanya Oki sambil
membalikkan badannya ke arah Nahli. Pertanyaan yang sudah berkali-kali dilemparkannya
entah pada Nahli atau pun Rini.
“Tidak ada yang
tidak mungkin kalau kita berusaha,” jawab Nahli dengan posisi tubuh terlentang
memandangi bintang yang berkilauan di langit-langit kamar. Jawaban yang juga sudah
berkali-kali dilontarkannya.
Mengambil studi
arkeologi adalah impian terbesar Oci. Ia begitu berkeinginan melanjutkan
pendidikannya di negeri om Hitler.
Nahla sendiri
sangat ingin belajar ilmu bisnis di negeri jiran, Malaysia. Ia memiliki jiwa
bisnis yang kuat. Ia menekuni bisnis online dengan menjadi reseller. Omset yang diterima per bulan terbilang tidak sedikit.
Dengan usahanya itu ia bisa membiayai kuliahnya. Tidak heran bila Nahla ingin
menambah ilmunya tentang dunia bisnis.
Sedangkan Rini
sudah jauh hari mengatur seluruh resolusinya. Setelah menyelesaikan S1, ia
berniat untuk apply S2 di Sydney,
kota impiannya. Melanjutkan S3 juga di Australia. Rini juga berencana untuk
berkarir di Negeri Kangguru itu. Bukannya dia tidak cinta negeri sendiri, tapi
berkarir di luar kan juga membawa nama negara. Mewakili bangsa. Setidaknya
begitu pikir Rini.
“Aku tidak
pernah mau hidup berbaur dengan orang yang bertubuh abad sembilan belas tapi
hidup di awal abad dua puluh satu.” Dialog yang selalu diluncurkan Nahla saat
kedua sahabatnya sibuk merangkai mozaik hidup ke negara yang mayoritas
berpenghuni caucasion.
Tidak terbesit
sedikit pun di benak Nahla untuk menggali ilmu di benua lain. Baginya Asia
lebih dari segalanya. Semua yang ia inginkan sudah tersedia di belahan benua
terbesar di bumi ini. Lain halnya dengan Rini atau pun Oci. Kerikil setajam apa pun akan mereka tantang demi
impian besar yang telah mereka susun rapih.
Ketiga sahabat
ini sudah saling mengetahui impian dan cita-cita masing-masing. Saling mendukung
dan mendoakan adalah hal yang selalu dilakukan ketiganya.
***
“Halo. Kenapa
tidak pernah ada kabar?” terdengar suara dari dalam phonecell Rini.
“Ah.
Mentang-mentang sibuk di konsulat jadi lupa teman sendiri,” kembali suara itu
menimpali.
“Maaf. Bukan
begitu sahabat Oci. Memang belum ada waktu saja. Kabarku baik di sini. Kamu
sendiri bagaimana? Sepertinya temanku
ini sangat betah di Jerman sampai lupa pulang ke kampung,” balas Rini panjang
lebar.
“Hehe. Aku juga
baik. Kamu itu yang tidak pernah pulang. Eh. Ngomong-ngomong tentang pulang,
kapan kamu mau pulang kampung? Tidak rindu Indonesia?”
“Tentu saja
rindu. Sangat rindu malah,” jawab Rini sembari menerawang jauh ke negeri seribu
pulau itu.
“Jadi kapan mau
ke Indonesia?” kembali Oci melempari dengan pertanyaan yang sama.
“Rencananya
akhir bulan depan. Tapi tidak lama. Mungkin cuma sekitar satu minggu,” jelas
Rini.
“Wah kebetulan.
Bulan depan aku ada penelitian di Jawa. Mau mendampingi mahasiswaku.” Setelah
menyelesaikan studinya, Oci mendapat tawaran menjadi tenaga pengajar di salah
satu perguruan tinggi di Berlin.
“Pas kalau begitu. Tinggal hubungi ibu Nahla
supaya dia bisa meluangkan sedikit waktunya untuk reuni,” kata Rini
bersemangat.
“Oh. Ok. Itu
gampang. Biar aku yang telfon. Aku tahu tanggungjawabmu di konsulat sangat
besar dan juga menyita waktu. Jadi biar temanmu yang baik hati ini yang
melakukannya.” Oci tidak pernah berubah. Banyolan ringannya selalu sukses
melelehkan suasana yang seumpama es kutub.
“Kalau begitu
kututup dulu. Pulsanya mahal bu. See you next month.” Tanpa menunggu balasan
dari seberang, Oci langsung memutus saluran telfon.
Nahla sangat
senang mendengar kabar bahwa kedua sahabatnya akan kembali ke Indonesia setelah
lama disibukkan dengan karir masing-masing. Ia sendiri juga sangat sibuk dengan
bisnisnya. Sudah puluhan perusahaan dan toko yang ia kelola. Ia juga sibuk
bolak-balik Malaysia. Sebagian ladang bisnisnya tumbuh subur di sana.
Mereka bertiga kembali
berkumpul sama seperti ketika berkumpul di kamar kost beberapa tahun silam.
Tidak ada yang berubah dari karakter ketiganya. Hanya aura kedewasaan yang turut
menambah jiwa-jiwa yang kini sudah menggapai impian masing-masing.
Di tengah
asyiknya mereka mengobrol sambil melepas rindu. Oci kemudian berdeham.
“Ehm. Ada
berita gembira. Sebentar lagi sahabat Nahla akan menjadi seorang istri.”
“Oh. Really?
Selamat Nal. Kapan? Dengan siapa?” pertanyaan bertubi-tubi dilayangkan Rini
sambil mengguncang-guncang tangan Nahla saat menyalaminya.
“Siapa lagi
kalau bukan pengusaha sukses dari negeri tetangga.” Sahut Oci sebelum Nahla
sempat menjawab.
“Iya.
Rencananya tiga bulan lagi. Kalian bisa datang kan? Harus bisa. Datang yah,” gumam
Nahla sambil memohon.
“Mmm..
bagaimana yah?” Oci terdiam sejenak lalu melanjutkan kalimatnya.
“Tentu saja
kami akan datang.”
“Iya. Mana
mungkin kami melewatkan hari bersejarah sahabat tercinta kami,” sahut Rini
seraya menyunggingkan senyum bahagia.
“Terima kasih.
Kalian memang sahabat terbaikku,” gumam Nahla dengan mata berembun.
Mereka bertiga
hanyut dalam haru bahagia. Ketiganya saling berangkul satu sama lain di depan
meja bundar yang sedari tadi menjadi forum pertemuan.
Usaha dan kerja
keras memang selalu membuahkan hasil. Tidak sia-sia mereka menggantungkan mimpi
setinggi langit. Asal ada keinginan, bagaimana pun rintangannya selalu ada
jalan untuk merealisasikannya.
Fakta + Fiksi. Demi melindungi beberapa
pihak,
nama yang digunakan disamarkan. :D