Pada Lekuk Awan Biru


Langit

Aku langit. Sosok yang selalu mengamatimu. Entah kau sadar atau tidak. Dan entah sejak kapan aku senang mengamati. Mungkin sejak aku lahir. Karena mungkin itulah tugasku; mengamati. Aku menjumpaimu saat kau tengah mendamba matahari; menanti sinar hangatnya tiap pagi, berharap matahari tak pernah undur diri, pun jika ia pergi, kau akan sangat menikmati semburat jingganya. Lalu kembali menantinya esok hari.

Telah lama kutahu bahwa kilau hangat matahari teramat sangat kau cintai. Hadirnya tak pernah bisa kau pudarkan. Tapi entah apa yang salah dengan diriku. Meski telah sangat jelas, tapi aku tak bisa untuk tidak melihat ke arahmu.

Kerumitan akhirnya tercipta. Entah kau yang begitu rumit. Entah keadaan yang teramat rumit untuk kita.


Laut


Aku sang pemuja matahari yang selalu bahagia saat jingga mengusir gelap di pagi hari. Yang selalu bahagia bermandikan cahaya hangatnya. Yang tak pernah risau menyaksikan semburat jingga mengantar senja tidur. Karena esok aku akan kembali menemuinya. Selalu begitu.

Tapi entah sejak kapan aku mulai berpikir, apa matahari juga merinduiku seperti aku padanya? Apa keriaan penantianku setiap waktu cukup berarti untuknya? Entah sejak kapan semua pertanyaan itu mulai berkelindan dalam kepalaku. Entah sejak kapan aku mulai menghitung-hitung semua itu.


Pada Lekuk Awan Biru


Derai angin menerpa wajah perempuan gamang itu. Sejak tadi ia duduk bersisian dengan seseorang yang belakangan menanam gamang di dadanya. Rasa takjub masih menyelimuti keduanya akan keindahan tebing yang berpadu dengan riak ombak. Masih mengamati surga tersembunyi yang kali pertama mereka kunjungi, dengan perasaan yang entah. Perasaan bahagia yang sebentar lagi menjumpai sedih. Atau berpamitan dengan sedih tuk menemui bahagia. Sekali lagi, entah. Hanya Tuhan dan mereka yang lebih tahu.
“Hei. Aku membawa bekal makan siang.” Ucap perempuan gamang itu, menukar suara.

“Yang kau masak hingga larut?”

“Ya. Begitulah.”

Perempuan itu lalu membuka tas yang sedari tadi bercokol di pundaknya. Mengeluarkan kotak makanan. Hanya satu kotak. Sengaja. Karena mungkin ini kali terakhir mereka bisa menikmati hari bersama.

Keduanya berbincang pendek. Tertawa ringan. Mengomentari rasa makanan yang terlalu pedas, terlalu asin. Bersama perasaan yang terlalu sulit digambarkan.

Kotak makanan tandas. Mereka kembali mengalihkan pandangan ke riak ombak kecil yang menabrak batu, pada lekuk awan biru yang tersenyum pedih. Keduanya duduk bersisian di atas jembatan kayu yang menghubungkan satu tebing dengan tebing lain. Membiarkan kaki mereka bergelantungan menabrak angin. Melihat ke bawah, ke arah laut dangkal yang sejak tadi menghasilkan suara ombak. Menghembuskan napas dalam-dalam. Menikmati indahnya suguhan pemandangan laut yang bertemu kaki langit.

Perempuan gamang itu lalu memegangi perutnya yang buncit karena kekenyangan.

“Food babyku semakin besar. Apa dia juga punya food baby sepertiku?” Lelaki itu hanya mengamati sepintas, lalu tertawa kecil.

Hening. Tak ada balasan. Kebisuan pun meringkus. Keduanya sibuk dalam pikiran masing-masing. Sesekali kapal nelayan melintas membuyarkan lamunan.

Perempuan itu terkejut. Mendapati si lelaki penanam gamang merebahkan kepala di pangkuannya. Dadanya seperti berhenti berdegup. Lelaki ini selalu saja membawa banyak kejut dalam hidupnya.

“Apa kita bisa terus seperti ini saja?” Ucap lelaki itu setelah sejak tadi diamnya lebih banyak.

Kebisuan lagi-lagi meringkus. Perempuan gamang yang tak tahu ingin berkata apa, hanya menahan sesak di dadanya. Berusaha mengusir kabut di matanya.

“Setelah liburan kita tak akan bisa seperti ini lagi.” Kembali ia berucap.

“Kuharap kau bahagia.” Lontar perempuan itu.

“Kaupun begitu. Sebentar lagi ia akan menemui ibu, bukan?”

“Entahlah.”

Perempuan itu terus mengusap lembut rambut lelaki yang telah menerobos dalam hidupnya. Terus ia amati lelaki yang sejak tadi memejamkan mata, mengutuk hatinya yang telah membiarkan sosok itu masuk. Juga mensyukuri pertemuan mereka yang membawa banyak riang, meski akhirnya perih.

“Sepertinya kau kutuan.” Ucap perempuan itu memecah keheningan.

“Mana mungkin.” Mereka tertawa kecil. Nyaris tak terdengar.

“Ayo kita pulang.” Ajak perempuan itu yang sejak tadi resah karena telah membolos kerja.

“Nanti. Aku masih ingin seperti ini.”

Desau angin tak henti membelai wajah mereka. Membuat kantuk seperti ingin menyergap. Tapi tak lebih kuat dari pedih yang mengoyak hati.

“Ayo cepat. Bangkit. Kita pulang.”

“Iya. Baiklah.”

Perempuan itu memukuli pahanya yang sedikit pegal. Mereka kembali tertawa.

“Hari ini kau jadi milikku. Hari ini izinkan aku jadi kekasihmu. Cukup hari ini saja.” Ucap lelaki itu.

“Iya.” Ucapnya pendek sembari menganggukkan kepala. Dadanya disambangi bahagia sekaligus sedih.

“Berhenti menatapku seperti itu.”

“Kenapa? Ada yang salah dengan mataku?” Lontar lelaki yang kini terlihat menyebalkan itu.

“Sungguh, tak ada yang menyiksa selain tenggelam di kedalaman mata itu.” Ucap perempuan itu lirih, membatin.

Mereka pun membenarkan posisi. Merapikan barang bawaan. Lalu berdiri. Bersiap untuk pulang. Lelaki itu lalu kembali memberi kejut. Ia mendekap perempuan itu. Erat.

“Kenapa harus sekarang? Apa aku kurang berjuang? Apa aku terlalu cepat menyerah?” Lontar lelaki yang kini seperti tak rela dilepas oleh perempuan gamang itu. Ia menumpahkan segala pedihnya dalam dekapan lelaki yang kini menggenggam hatinya. Tersedu. Menyesali hatinya yang terlalu batu.

“Ayo kita pulang.” Pelan-pelan perempuan itu mengatur hatinya. Berdamai dengan situasi yang rumit.

“Ayo.”

Keduanya berjalan bersisian. Saling menggenggam. Seperti ingin waktu berhenti di sini saja. Tak perlu ada hari esok.


Laut

Bagaimana kita menamai keadaan? Sejak awal aku tak pernah paham. Aku tak pernah berkawan dengan kisah hati yang rumit. Hingga alam semesta menggiring kisah rumit ini dalam perjalananku.

Kita terlahir seperti garis cakrawala. Kau langit. Aku laut. Dekat tapi nyatanya tak pernah bisa bersatu. Seperti yang pernah kau katakan, mungkin kita memang dicipta untuk saling belajar akan pahit dan pedih.

Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

Suamiku

eLPiDiPi Kali Kedua