Tertikam Sepi
Kusibak
tirai jendela. Dingin malam melekat di kaca. Rembulan menggantung di atas sana.
Sinarnya tidak banyak. Tidak seperti malam-malam lepas. Malam ini cahayanya
tunggal. Gemintang seperti enggan berkarib. Ia tak kunjung datang. Rembulan tersenyum
tipis. Sangat tipis. Hingga ia resah dan meredupkan diri.
Pekat malam kian menganga. Pun tak setitik cahaya melompat dari angkasa sana. Hanya sinar lampu jalan yang temaram berkawan dengan malam. Sedari tadi aku berdiri di sini. Berdiri berbingkai jendela. Pikiranku seketika menerawang. Menembus jendela. Menembus masjid yang berdiri tepat di hadapanku. Bahkan mungkin menembus cakrawala. Sesosok manusia menari-nari di kepalaku. Untuk yang entah ke berapa kalinya, ia masuk ke ubun-ubunku. Merayap ke memori otakku. Lalu mampir di ingatanku.
Pekat malam kian menganga. Pun tak setitik cahaya melompat dari angkasa sana. Hanya sinar lampu jalan yang temaram berkawan dengan malam. Sedari tadi aku berdiri di sini. Berdiri berbingkai jendela. Pikiranku seketika menerawang. Menembus jendela. Menembus masjid yang berdiri tepat di hadapanku. Bahkan mungkin menembus cakrawala. Sesosok manusia menari-nari di kepalaku. Untuk yang entah ke berapa kalinya, ia masuk ke ubun-ubunku. Merayap ke memori otakku. Lalu mampir di ingatanku.
Sudah sekian ratus hari aku
mencecap hidup sebagai manusia yang diberi gelar sosok intelektual. Bukan hal
mudah menyandang status baru. Hidupku drastis berganti dengan dunia baru.
Kutinggalkan tempat lahir dan tumbuhku demi menanam ilmu di ladang waktu
depanku. Kutinggalkan perempuan paruh baya itu. Perempuan yang selalu membuat
gelapku tak memberi lelap. Yah. Ibu. Hanya tiga rangkaian huruf yang mampu
membuat dadaku sesak jikalau wajahnya terbayang. Apa yang tengah ia lakukan
malam ini? Serupakah denganku? Memandangi malam yang kian menghitam.
Kuingat ia selalu membelai
rambutku kala diriku menuju ke peraduan. Sejak kanak hingga sebelum kakiku
berpijak di kota orang ini. Malam-malamku tak sama lagi. Aku yang berkarib sepi
tak lagi diselimuti hangatnya pelukan ibu. Tak lagi diterangi cahaya kasihnya.
Aku merindukannya. Kurasa aku hampir mati karena merindukannya. Adakah ia juga
merasakan hal yang sama? Kuharap tidak. Sakitnya tak terperikan. Aku teramat
benci dengan kata rindu. Karena ia begitu menyiksa batinku. Hatiku basah. Mataku basah.
Sebuah kalimat sederhana dari
ibu yang selalu terngiang di telingaku.
“Jangan biarkan dirimu larut
bersama kesenangan sesaat. Karena sesal selalu bertakdir di akhir.”
Inilah yang menjadi penguat dan
selalu membimbingku untuk tetap berjalan di koridor yang benar. Bukan sok suci.
Aku selalu memohon agar tak terjerat dalam jaring kenistaan.
Ibu adalah segalanya bagiku. Tak
ada perempuan lain di jagad raya ini yang mampu menandingi betapa raksasanya
peran ia dalam hidupku. Aku tahu bahwa ia tahu akan hal ini. Telah kuteguhkan
hati bahwa semua yang kulakukan hari ini, esok, dan seterusnya adalah untuknya.
Hanya untuknya. Kasih yang teramat dalam meraja, tiada lain hanya untuknya. Ia
selalu menjadi sosok terdepan sebagai tokoh pertama dalam setiap niat dan
cita-citaku.
Malam ini sungguh kurasakan sakitnya
ditikam sepi. Meski bukan untuk kali pertama. Aku ingin mengusir sepi ini. Tapi
ia tak mau beranjak. Dan tak bisa beranjak walau kuusir sekeras apapun.
Hitam kian jelas tergambar di
luar sana. Kubuka jendela sedikit. Berniat membiarkan angin malam merasuk ke dalam
jiwa. Tapi tak semilir yang menghampiri. Angin seperti mati di rawa sepi.
Serupa dengan jiwaku yang dikuasai hawa sepi. Rawa-rawa di bawah sana ditumbuhi
bermacam tanaman yang setiap harinya menjadi pemandanganku. Malam ini rawa itu
tak tertangkap jelas oleh indra. Hitam menjadi satu-satunya warna. Hanya bias
cahaya temaram yang terpantul seperti kaca.
Kututup daun jendela. Langit
tiba-tiba murka. Ia menumpahkan bulir-bulir bening dari awan yang hitam sedari
tadi bersama malam. Kali ini tanah telah berkawan dengan hujan. Dibiarkannya
hujan meresap masuk ke pori-porinya. Dan dibiarkannya pula hujan menyegarkan
tubuhnya yang sudah lama haus. Hujan dan tanah berteman. Tanah tak lagi sepi.
Tapi aku, masih saja sepi. Dan akan terus tertimbun di tumpukan sepi.
Kuarahkan tubuhku menuju ke
pembaringan. Berharap kantuk segera mendera agar esok tak terlukis lingkaran
hitam di pelupuk mata.
Seberkas cahaya merayap masuk
menembus jendela. Seakan berniat membangunkanku. Rupanya pagi telah menggulung
malam. Hal yang selalu kunanti, tercipta hari baru.
~19.02.13 Teruntuk
ibuku yang mengajarkan kekuatan doa.