CICUK MARICUK
Mengenakan seragam putih abu-abu adalah impianku sejak dulu. Yah duduk di bangku SMA. Ditempatkan di kelas X indeks delapan, membuatku begitu bahagia karena bisa mendapatkan teman-teman baru yang sangat baik dan menyenangkan. Tapi kebahagiaanku bertambah setelah mengenal seseorang yang sangat patut disebut sebagai sahabat.
            Menguasai bahasa Inggris adalah salah satu keinginan terbesarku. Untuk itu, selain kursus aku juga mencoba mengikuti salah satu kegiatan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris di sekolahku. Kegiatan itu adalah bimbingan debat bahasa Inggris.
            Inilah yang menjadi jembatan pertemuan kami. Hari pertama bimbingan, dia ditunjuk pertama untuk membawakan argumennya tentang motion yang sedang hangat diperbincangkan. Jenius, cool, penuh wibawa, dan sedikit bicara. Begitulah kesan pertama aku mengenalnya.
            Baru berselang beberapa minggu kami belajar debat. Tapi lomba debat di tingkat provinsi sudah diselenggarakan. Beberapa siswa yang terpilih untuk mengikuti lomba, termasuk aku dan dia. Aku yang lebih dulu mencoba menjalin keakraban dengannya. Berharap dia yang memulai, sangatlah mustahil melihat sikap coolnya yang bagai es batu. Setidaknya kami sudah saling mengenal nama.
            Di sanalah gerbang pertemanan kami terbuka lebar, yang menjadi awal keakrabanku dengan sahabatku itu, Reski Anugrah. Atau yang kerap disapa Reski. Tapi aku memberinya nama baru, Cicuk Maricuk. Sapaan akrabku untuknya. Aku merasa bahwa kami akan menjadi teman baik.
            Setelah lomba, kami masih aktif mengikuti bimbingan debat, bahkan berbagai kegiatan yang berbau bahasa Inggris lainnya. Seperti English-Camp, English-Village dan Speaking Practice. Intensitas pertemuan kami pun semakin sering. Dan jika sesekali bertemu di lingkungan sekolah, kami langsung bersua, saling melempar senyum dan bertegur-sapa. Dan aku mulai melihat sisi lain dibalik sikap dingin dan cueknya. Ternyata dia sosok yang menyenangkan dan cukup perhatian. Meskipun tidak dia tunjukkan secara langsung. Melainkan dengan gayanya yang khas. Tapi aku bisa merasakan perhatian dari temanku itu.
            Tak terasa tes semester dua sudah berakhir. Tinggal menunggu hasil. Dan menunggu pengumuman akan ditempatkan di kelas mana nantinya setelah duduk di bangku kelas XI.
            Dan suatu malam, handphoneku bergetar yang mengisyaratkan ada pesan baru. Setelah kubuka, ternyata pesan dari Cicuk. Dan sudah pasti lagi-lagi aku duluan yang mengajaknya bertukar nomor HP. Isi pesannya cukup singkat.
“Kita sekelas di kelas XI IPA 1.”
Tidak hanya itu, kemudian Cicuk kembali mengirim pesan dan mengatakan bahwa kami ditempatkan di kelas unggulan. Awalnya aku shock, bingung mau berkata apa. Perasaanku seperti gado-gado, campur aduk tidak karuan. Senang dan khawatir menyelimutiku. Aku takut akan dikucilkan nantinya jika bergabung dengan orang-orang jenius. Maklum saja, aku tidak sejenius mereka. Aku bahkan heran dan merasa tak percaya bisa terselip di antara orang-orang hebat seperti mereka. Aku sama sekali tidak menyangka ini bisa terjadi. Tapi, bagiku ini merupakan suatu anugrah terbesar yang pernah kudapatkan di sepanjang perjalanan karirku, maksudnya sepanjang aku menuntut ilmu. Aku berusaha untuk membuang rasa khawatir itu. Dan aku merasa sangat beruntung bisa sekelas dengan orang-orang cerdas semacam Cicuk. Setidaknya bisa tertular sedikit kejeniusan dari mereka. Hehe.
            Ditempatkan di kelas XI IPA 1, atau yang kami beri nama EXON.COM (Exact One Community) membuat kami bertambah akrab. Kami selalu duduk bersama. Entah itu di kelas bahasa Inggris, Matematika, Biologi. Dan kami pun mulai merangkai bunga persahabatan. Banyak kesamaan yang kutemukan di antara kami. Mulai dari selera musik, makanan, hobi, termasuk nama kami yang sama.
            Kami dipertemukan di lautan club bahasa Inggris dan exon.com. Bukan hanya itu, kami juga sama-sama berpetualang di belantara yang sama dalam asistensi Kimia. Kami berenang bersama mengarungi samudra kehidupan. Setiap hari bertemu di kelas yang sama. Minggu ke minggu, bulan demi bulan telah kami lewati dalam buku kehidupan untuk belajar mengeja dan membaca arti dari setiap kata dan rangkaian kalimat kehidupan di usia yang terbilang masih belia.
            Exon.com kadang memanggil kami “Reski kuadrat” karena nama kami yang sama, Reski Anugrah, sedangkan orangtuaku memberiku nama Reskiawati. Di urutan absen, nama kami juga berdekatan. Mempunyai nama yang sama membuat kami sangat bangga.
            Berhubung dia anak rumahan, jadi selalu aku yang mengajaknya hangout. Kami sangat betah duduk di pinggir jalan sembari makan jagung bakar di dekat sekolah. Selain itu, aku sering sekali mengajaknya ke pasar untuk berkeliling. Memperlihatkan padanya seperti apa itu suasana pasar.
Dan pernah suatu hari aku mengajaknya untuk belanja perlengkapan aksesoris. Aku kasihan sekali melihatnya selalu memakai ikat rambut yang itu-itu saja. Padahal bukan karena dia tidak ada uang untuk beli yang lain. Tapi memang dia tidak pernah memperhatikannya. Maklum saja, Cicuk memang anak yang sedikit tomboy. Puas memilihkannya ikat rambut, jepitan, gelang, dll. Aku juga tertarik ingin memiliki sebuah bando yang menurutku sangat cute.
“Ini kamu yang bayar dulu yah!” pintaku padanya. Lalu tiba-tiba saja ekspresi wajahnya berubah setelah aku berkata demikian.
Pada saat kami ingin membayar, terjadi sesuatu yang sangat memalukan.
“Ayo bayar!” suruhku pada si Cicuk.
“Bukannya kamu yang mau bayar dulu,” balas dia.
“Tadi kan aku bilang kalau kamu dulu yang bayarin! Sekarang aku tidak ada uang,” suruhku lagi.
 “Kamu jangan main-main dong! Aku juga sedang tidak ada uang sekarang,” katanya dengan sedikit berbisik.
Apa! Cicuk juga tidak membawa uang, batinku.
So, bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Cicuk dengan sedikit bingung dan panik. Belum pernah aku melihat raut wajahnya sepanik itu setelah sekian lama mengenalnya.
Dan sepertinya si Ibu kasir mendengar pembicaraan kami. “Kenapa Dik?”
Kami berdua langsung memasang senyum. :)
“Bagaimana kalau besok saja kami kembali Bu. Barangnya disimpan saja dulu!” pintaku pada si Ibu. Dan selalu saja aku yang turun tangan kalau sudah begini persoalannya. Cicuk mana mau bicara. Dia itu kan sangat hemat kata dan sedikit pemalu.
“Begini saja Dik. Simpan saja beberapa uang untuk jaminannya, tidak usah bayar penuh kalau memang belum ada uang. Nanti barangnya saya simpan. Bagaimana?” tanya si Ibu.
Lalu dengan segera kami menggeledah isi kantong, dompet, bahkan seisi tas. Kalau-kalau ada uang yang menyelip. Dan syukurlah masih ada beberapa lembar uang seribuan. Kami pun membayar si Ibu kasir. Kemudian meninggalkan tempat itu dengan perasaan malu yang sangat.
I’m so embarrassing,” lontarnya.
“Kamu pikir aku tidak? Hmm.” Lalu kami saling memandang satu sama lain dan tertawa cekikikan.
Dan keesokan harinya kami pun kembali ke toko aksesoris itu, tentunya dengan membawa uang yang cukup. Hehe. Dan rasanya tidak ingin kembali lagi ke toko itu.
Itulah pengalaman bersama Cicuk yang tidak akan pernah kulupakan. Pengalaman yang paling memalukan yang pernah kami alami berdua.
Kami pernah menganalogikakan persahabatan kami seperti kelinci dan kura-kura. Si kelinci yang gesit dan cepat berlari. Sedangkan kura-kura, jangankan berlari untuk bisa mengalahkan kelinci, berjalan saja masih terseot-seot. Aku kelincinya, dan kura-kura? Siapa lagi kalau bukan Cicuk yang lamban dalam setiap pergerakannya. Memang, aku lebih lincah dibanding dia. Aku lebih banyak bicara, heboh, dan ceria. Sedangkan sahabatku itu, sangat hemat kata, kalem, tapi sangat jenius. Aku sangat kagum dan merasa iri dengan kecerdasan yang ia miliki. Selain menjadi debater seperti diriku, Cicuk juga tergabung dalam tim olimpiade Biologi di sekolah. Dan telah beberapa kali mengantongi juara dan lolos ke tingkat Nasional. Bukan hanya itu, Cicuk juga selalu mendapat peringkat pertama di kelas, sejak kelas satu hingga saat ini. Dan menjadi siswa terbaik dari seluruh komunitas IPA. Karena kepintarannya itu, tidak jarang aku menyontek padanya. Hehe. Kadang aku merasa, aku dan dia seperti berada di kutub utara dan kutub selatan. Meski banyak kesamaan di antara kami, tapi tidak sedikit juga perbedaan yang kutemukan darinya.
Dan satu lagi perbedaan yang cukup mendalam di antara kami. Sahabatku itu, selera humornya sangat buruk. Aku yang bisa berjam-jam duduk di depan TV tertawa ngakak karena melihat ulah para komedian Opera Van Java. Dan mengulang setiap adegan dan diaolg mereka di kelas bersama teman-teman yang juga maniak OVJ. Sedangkan dia, hm, jangan ditanya. Mendengar nama acaranya saja tidak pernah. (Betul-betul parah kan selera humornya)?
Tapi, meski terdapat not-not yang berbeda di antara kami. Aku dan dia justru merasa inilah seni dalam persahabatan kami. Melodi kebersamaan yang indah. Nada-nada persahabatan senantiasa kami kumandangkan. Saling mengisi satu sama lain. Dia selalu saja ada untukku. Jika yang satu bahagia, yang satu turut merasakan kebahagiaan itu dua kali lipat. Dan bila yang satu terluka, maka luka itu akan kami bagi dua agar terasa lebih ringan.
Mengingat dia sosok yang sangat penyabar dan selalu mengalah, jarang sekali kami terlibat dalam sebuah pertikaian. Tapi pernah suatu hari kami tidak bercakap-cakap seperti biasanya. Melihat dia tampak badmood, aku memutuskan untuk membiarkannya sendiri. Tapi apa yang terjadi? Dia mengira bahwa aku memusuhinya. Hingga keesokan harinya aku berusaha meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kami. Dan kami pun kembali seperti biasa. Setelah hari itu, hingga kini kami tidak pernah lagi terlibat permasalahan seperti itu. Dan itu menjadi pelajaran berharga bagi persahabatan kami. Membuatku lebih mengenal bagaimana sosok sahabat baikku, Cicuk.
Aku hafal betul kapan dia merasa sedih, kapan suasana hatinya sedang sangat baik. Kalau sedang kesal, dia seperti beruang yang tidur di musim dingin. Dan kadang menganggapku sebagai manusia ‘transparan’. Aku yang lebih muda beberapa bulan darinya, justru lebih sering memberi nasehat. Kami selalu saling meminta pendapat. Begitu juga dengan urusan cowok. Meski dia lebih tertarik dengan cowok tampang oriental. Sedangkan aku lebih memilih yang pribumi saja. Tak jarang dia meminta pendapat tentang orang yang sedang ia taksir. Begitu pun aku. Kami sudah seperti saling ‘telanjang’ satu sama lain. Tidak ada rahasia. Tidak menyembunyikan hal meski itu hanya sekecil semut. Dan padanya pula aku merasa aku bisa mengatakan bahwa “aku adalah Reskia”, aku merasa bisa menjadi diri sendiri. Mengungkapkan apa yang ingin kuungkapkan. Selalu bisa menjadi apa adanya aku.
Senyum dan tawa senantiasa mengiringi langkah kecil kami. Dan pada akhir Februari 2011 lalu, kami memutuskan untuk membuat diary bersama. Dua buku diary yang di dalamnya akan kami isi dengan berbagai pengalaman yang kami namakan ‘Buku Hidup’. Dua buku yang kami tulisi dengan isi yang sama. Kebetulan saat itu ada dua buah buku yang sama dan limited edition. Tentu saja kami tidak akan melewatkan kesempatan untuk memiliki buku tersebut. Dia memilih buku yang berwarna hijau, warna favoritnya. Berhubung tidak ada warna merah yang menjadi warna kebesaranku, jadi aku berhak akan buku yang berwarna biru.
Sejak saat itu, hari-hari kami menjadi lebih bervariasi. Saling bergiliran menulis.
Dan suatu ketika aku merasa kedua ‘Buku Hidup’ itu cukup membebani.
“Huh, capek juga menulis dua kali dengan isi yang sama. Mana tiap hari dibawa-bawa, berat tahu,” omelku suatu hari padanya.
“Memangnya yang punya ide siapa? Kan kamu sendiri yang maunya begini,” balas Cicuk dengan nada candaannya.
Iya juga sih. Memang dari awal aku yang sangat bersemangat, batinku.
“Iya, iya. Baiklah. Aku tidak akan mengeluh lagi. Maaf yah!”
Dengan hadirnya ‘Buku Hidup’ memang sangat memberi warna baru bagi hidup kami. Kejadian-kejadian lucu, atau insiden yang cukup memalukan pun kami cantum dalam ‘Buku Hidup’. Bahkan resolusi beberapa tahun ke depan juga tidak luput dari catatan kami. Seperti ingin menikah di usia berapa, target yang ingin dicapai setelah dewasa, nama anak kami masing-masing pun telah kami sediakan. Aku yang berkeinginan mempunyai anak perempuan, sedangkan dia sangat mendambakan anak laki-laki nantinya. Kami juga berencana untuk menjodohkan anak kami kelak. Wahaha.
Karena penasaran melihat aku dan Cicuk selalu membawa ‘Buku Hidup’ ke mana-mana, teman-teman dengan iseng merampas buku itu dari pelukan kami. Dan pada akhirnya ‘Buku Hidup’ menjadi bacaan para exon.com dan sudah seperti diary bersama. Setibanya di sekolah, di pagi hari yang mereka cari pasti ‘Buku Hidup’.
“Hari ini giliran siapa yang membawa‘Buku Hidup’?” begitulah dialog mereka, exon’s member.
Tak jarang teman-teman yang lain heran melihat kami yang begitu kompak. Bahkan kami dijuluki Duo The Virgin, Cicuk  sebagai Mitha dan aku Dara. Haha. Kadang mereka juga tidak betah jika terlibat dalam sesi perbincanganku dengan Cicuk. Kenapa? Karena kami selalu saja berimajinasi tentang suatu hal yang mustahil, memikirkan masa depan yang memang terlalu dini untuk dipikirkan oleh anak seusia kami. Atau memperbincangkan sesuatu dengan gaya kami, yang hanya aku dan dia yang mengerti. Yah begitulah aku dan Cicuk. Dua sahabat yang selalu didesaki imajinasi gila. Dua sahabat yang tak terpisahkan.
Meski Cicuk lebih sedikit bicara dibanding aku. Tapi, kalau sudah menggoreskan tinta di ‘Buku Hidup’ bisa sampai berlembar-lembar. Selama kami berteman, mungkin tidak ada yang percaya jika aku mengatakan bahwa dia tidak pernah sekali pun menelponku. Hm. Selalu saja aku yang menelponnya. Tapi, sms-nya bisa menumpuk dalam sehari.
Karena selera musik yang sama, aku dan Cicuk sering sekali bernyanyi bersama. Meskipun suara kami tergolong pas-pasan. Kami selalu mengalunkan lagu-lagu Miley Cyrus, Taylor Swift dan Demi Lovato. Bahkan kami memiliki lagu kebesaran yang senantiasa kami lantunkan. Sebenarnya bukan lagu ciptaan kami. Tapi liriknya sangat sesuai untuk menggambarkan persahabatanku dengan Cicuk. Penggalannya seperti ini:
“...kau ajari aku menjadi dewasa, singkirkan emosi diri di dada, menjadi sosok yang bijaksana...”
Itulah hits andalan kami.
Pernah aku merasa sangat kehilangan dia. Waktu itu, dia terserang penyakit cacar. Berminggu-mingggu lamanya Cicuk tidak masuk sekolah. Rasanya sepi sekali. Seperti ada yang hilang. Bagaimana tidak, jika aku berbicara di hadapannya rasanya seperti bicara pada cermin. Dia sangat mengerti aku. Semua yang kuungkapkan padanya, semua curahan hatiku, selalu saja ada solusi. Setiap harinya aku gunakan untuk ngerumpi bersama Cicuk, meski dia lebih banyak mendengar. Kadang kami membicarakan tentang orang-orang yang paling aneh di sekolah, atau guru yang paling tidak kami senangi. Dan ketika bayanganku itu tidak ada, maksudnya Cicuk, pastilah ada keganjalan. Berjalan tanpa bayangan. Di sanalah aku menyadari bahwa aku sama sekali tidak berarti tanpa kehadirannya.
Senang sekali melihatnya kembali masuk sekolah. Teman-temanku yang lain mencoba meledekku dengan berkata, “hei Reski, Reskia seperti orang yang tidak pernah makan berhari-hari selama kamu tidak masuk sekolah.” Memang betul sekali perkataan mereka. Semangat dan keceriaanku berkurang selama soulmateku itu tidak ada di sampingku. Ini membuktikan bahwa ikatan persahabatan yang selama ini kami rajut semakin erat.
Happy sweet seventeenth,” ucapku padanya di tanggal 18 Juni 2011 lalu. Aku mendoakan sahabat baikku itu, semoga di usianya yang ke-17, dia semakin dewasa dan semoga selera humornya juga semakin baik. Haha.
Aku juga memberinya hadiah sepasang sepatu. Kenapa harus sepasang sepatu? Karena seperti persahabatan kami, aku dan dia bagai sepasang sepatu. Bila yang satu hilang, yang lain tidak memiliki arti. Satu lagi alasannya, kami juga mempunyai motto “two is better than one.” Dan ini sangat cocok untuk menggambarkan persahabatan kami.
Mungkin karena terharu menerima hadiah dariku dan membaca kalimat mutiara yang kuselip dalam kado tersebut, Cicuk lalu mengirim pesan padaku.
Be my best friend till moon and stars don’t want to shining our earth anymore. Nomu saranghaeyo..:)”
Tidak bisa kusembunyikan rasa haru yang juga membalut hati setelah aku membaca pesan darinya. Air mataku sampai menetes. Ah, sahabatku itu. Meski belum lama kami menjadi sahabat baik. Tapi sungguh, aku sangat menyayanginya.
Hingga hari ini, dia tetap menjadi sahabat karibku, sahabat terbaik yang pernah kudapatkan sepanjang hidupku. Sahabat yang selalu mewarnai indahnya hari-hariku. Seperti lagu Sindentosca Kepompong, aku dan Cicuk “teman begitu hangat mengalahkan sinar mentari.” Tak ada seorang sahabat pun yang bisa mengalahkan ataupun menandingi peran dan posisi dia dalam hidupku.
Meski isi lautan yang kami arungi nantinya berbeda, meski kami sudah tidak berpetualang di belantara yang sama, dan meski gunung yang kami daki berbeda. Tapi harapanku semoga persahabatan kami tidak turut tererosi oleh zaman, tidak turut terbawa gelombang waktu. Semoga persahabatan kami tetap kokoh.***

Cerpen ini dibuat untuk sahabat tercinta, Resqi Anugrah. S. Betapa pun kita tak bersua seperti dahulu, kau tetap menempati posisi yang sama dalam hidupku, my best friend. :)


Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

eLPiDiPi Kali Kedua

Super Tri