SENDIRI LAGI

          Malam semakin pekat. Suara jangkrik-jangkrik centil di luar sana seakan berlomba menghasilkan suara termanis mereka. Tapi mata tak kunjung terkatup. Sesekali suara longlongan anjing membahana. Rasa takut mulai menyerang. Enggan aku mematikan lampu. Kubiarkan pancaran hangatnya menerangi seisi ruangan. Benda mungil bernama kipas angin sedari tadi setia menghembuskan angin konstannya. Aku bangkit dari pembaringan. Kutekan tombol turn off. Kasihan juga melihatnya bekerja keras terus-menerus.
          Gawat. Perutku mengamuk minta diisi. Tidak ada makanan. Bagaimana ini? Tidak mungkin aku menyelinap di kegelapan malam mencari gorengan yang sudah menjadi menu utama hampir di setiap waktu makanku. Meskipun sebenarnya tidak terlalu gelap di luar sana. Lampu jalan masih menerangi sisi jalan lorong tempat tinggalku. Tapi tetap saja aku diselimuti rasa takut yang sesungguhnya sejak tadi menyerangku.
          Akhirnya kusendiri lagi. Seperti lirik lagu salah satu girlband yang tengah naik daun. Persis seperti itulah diriku sekarang. Sepeninggal Oki sejak sore tadi, totally aku sendiri di kamar ini. Teman kamarku itu tega sekali membiarkanku sendiri. Sebenarnya ini bukan kali pertama aku tidur sendiri . Tapi entah mengapa aku benar-benar takut. Oki memutuskan untuk pulang kampung ke Polman. Katanya rindunya sudah tak tertahankan pada orangtuanya.
          "Aku hampir mati karena merindukan mereka." Dialognya itu, persis seperti di drama Korea yang tempo hari kami tonton bersama di kamar ini.
          Perutku kembali melanjutkan aksi demonya. Kali ini benar-benar klimaks. Tiba-tiba saja aku teringat akan dua bungkus Gerry Sallut yang kubeli di kantin kampus siang tadi. Bahagianya melihat mereka masih tersimpan di dalam tas. Setidaknya bisa mengganjal perut. Dengan sekejap mata Gerry Salut tadi tersisa pembungkusnya saja. Lumayan, sedikit menghibur cacing-cacing di perut.
          Kalau saja ada Oki di sini. Pasti tidak begini jadinya. Kelaparan. Kesepian. Ketakutan. Komplit sudah penderitaanku. Inilah alasan mengapa aku tidak pernah ingin hidup sendiri. Aku memang masih terlalu chidish. Hidup jauh dari keluarga sudah cukup menyiksa. Tapi demi menempa diri menjadi manusia berperadaban tinggi, kuabaikan semua itu. Ternyata begini rasanya merantau di kota orang. Seperti kata Andrea Hirata dalam sebuah novelnya yang entah judulnya apa, "aku mendapati diriku terpojok di sudut peradaban sebagai minoritas, dan sungguh pahit rasanya." Kira-kira seperti itu penggalannya. Itulah yang juga kurasakan sekarang.
          Di saat seperti ini hal yang paling ingin kulakukan adalah memeluk ibuku. Aku benar-benar merindukannya. Tidak seperti Oki yang sekarang pasti sudah berada di dekapan bundanya, aku hanya bisa menahan rindu itu. Ah. Dadaku  Sesak. Tenggorokanku sakit. Tapi bukan itu yang harus kulakukan di tempat ini. Bukan meratapi nasib seorang diri di kota metropolitan. Amanah yang kuemban adalah menyelesaikan studi tepat waktu. Lulus dengan IPK cum laude adalah harapan hampir semu orangtua pada anak-anak mereka. Begitu juga Ibuku.
          "Jangan kecewakan Ibu yah Nak. Jangan macam-macam di kota orang. Makassar itu kota besar. Kalau bukan kamu yang pandai membentengi diri, maka hancurlah semua. Jaga nama baikmu. Juga nama baik keluarga." Kalimat itulah yang setidaknya selalu menjadi penguat dan penuntunku.
          Sempat aku mendapat tentangan dari beberapa sanak keluarga. Katanya, untuk apa kuliah jauh-jauh kalau ada swasta yang dekat. Tapi tentangan itu justru menjadi pelecut semangatku untuk membuktikan kepada mereka bahwa pilihanku untuk menimba ilmu di universitas termahsyur di kawasan Indonesia timur ini adalah langkah yang tepat. Untunglah Ibuku tidak sependapat dengan mereka. Semua ia kembalikan padaku.
          "Yang mau menjalani kan kamu. Jadi Ibu hanya bisa mendukung keinginanmu. Serta mendoakan." Ah. Ibuku itu, benar-benar tidak ada tandingannya. Selalu kutanamkan dalam jiwaku bahwa semua yang kulakukan hari ini, esok dan seterusnya hanya untukmu, Ibu.
          Kulirik penunjuk waktu di phonecellku. Sudah pukul 01.10. Tapi kantuk belum juga menyerang. Kuteguk segelas air yang mengucur dari dispenser. Kemudian kembali ke pembaringanku. Kali ini tidak kubiarkan cahaya lampu menemani tidurku. Selalu kulafadzkan doa sebelum berangkat ke alam mimpi. Doa yang selalu sama. Semoga esok akan lebih baik. Dan untuk Ibu, aku selalu mencintaimu.


Kamar kost, 7 Desember 2012
          

Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

eLPiDiPi Kali Kedua

Super Tri