Goes to Polman


                Langit tak kunjung berhenti menangis. Bahkan semakin mengguyur. Padahal bus yang akan kutumpangi menuju kabupaten Polman sudah menunggu berjam-jam. Setelah air dari arah atas kami mulai berkurang, Nurul, Dewi, dan aku berjalan terbirit-birit meninggalkan lorong sahabat menuju kampus, tepatnya di depan auditorium Mattulada. Apa yang kami khawatirkan benar-benar terjadi. Benar saja, kami tidak kebagian kursi karena terlambat. Semua kawan kami sudah duduk manis di tempat mereka masing-masing. Alhasil, mau tidak mau, suka tidak suka kami harus duduk di lorong bus, celah antara kursi di bagian kiri dan kanan. Yang lebih parahnya, kami duduk di kursi plastik tanpa sandaran. Bayangkan betapa melelahkannya journey yang ditempuh selama kurang lebih tujuh jam. Belum menjalaninya saja sudah membuat punggung pegal setengah mati. Dan benar saja, baru beberapa kabupaten yang dilintasi, otot-otot punggungku sudah menunjukkan signal kepegalan. Tapi aku tidak sendiri merasakan penderitaan ini. Ada Nurul, Dewi, Nia, Claren, dan beberapa kawan yang lain.
                Tujuh jam yang terasa lebih lama dibanding saat aku melakukan ritual pulang kampung sebelumnya. Tidak ada yang begitu membahagiakan saat tiba di tempat tujuan. Itu artinya penderitaanku berakhir, meski sebetulnya tidak, karena masih ada satu sesi lagi saat kembali ke Makassar. Aku takjub pada diri sendiri. Tak kusangka hal yang jika dibayangkan saja sudah membuatku tidak sanggup bisa kulewati. Yah. Aku memuji diri sendiri.
                Haah.. berbeda sekali rasanya kembali menghirup udara Polman, kabupaten yang menjadi tempatku bersaing secara akademis dengan balutan putih abu-abu. Baru beberapa bulan tidak menginjakkan kaki di tempat ini rasanya sudah hampir satu dekade. *hihihi lebay. Yah. Aku benar-benar merindukan tempat ini, merindukan tanah ini dengan segala yang berdiri di atasnya.
                Rumah yang aku dan kawan-kawan pertama kali pijakkan adalah sebuah rumah yang dipenuhi dengan hiasan emas di langit-langit dan dinding rumah. Langsung kurebahkan tubuhku ke lantai ruang tamu yang sudah sedaru tadi menuntut haknya. Begitu juga kawan yang lain.
                Baru berselang beberapa menit tubuh ini merasa tentram dan damai setelah perjuangan panjang di perjalanan, tiba-tiba ada instruksi yang mengharuskan kami bangkit dari tidur dan beranjak ke rumah warga yang lain untuk menginap.  Kasihan sekali. Kami digusur.
                Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Kami putuskan menunggu waktu shalat subuh. Setelahnya kami langsung melakukan aksi balas dendam: tidur sampai puas.
                Di pagi hari, bapak dosen mengajak kami mengunjungi kecamatan Mapilli untuk menyaksikan perjanjian kerja samanya dengan rekannya dalam dunia bisnis. Proyek besarnya itu sesungguhnya membuat kami bosan karena harus mengitari daerah pegunungan yang sama sekali tidak menyimpan pemandangan indah.
 Acara yang paling kami tunggu adalah mengunjungi pantai di Polman. Kawan-kawan di bus frustasi karena pantai itu tidak kunjung muncul di hadapan kami. Mungkin karena frustasi berkelanjutan, sawah atau pun empang yang kami lalui di sepanjang jalan dianggap sebagai pantai. Lumayan, mengobati kekecewaan. Hingga selang waktu berikutnya kami diantar ke suatu tempat yang dipenuhi air dan perahu nelayan. Tempat ini lebih layak disebut pelabuhan, begitu argumen kawan-kawan. Kekecewaan pun berlanjut. Berhubung matahari sudah memanggang kulit, jadi hanya beberapa yang turun dari bus.
Journey berakhir di pelabuhan tak bernama itu. Bus berputar ke arah tempat tinggal kami. Melepas penat sembari bercengkrama di ruang multifungsi kami. Karena selain sebagai tempat bercengkrama, juga berperan sebagai ruang tidur kami.
Waktu istirahat berakhir. Kami kemudian disuguhkan dengan pertunjukan Pammanca’. Seni bela diri dari tanah Mandar ini tidak hanya menyita perhatian kami, tapi juga masyarakat sekitar Polman. Pemandangan yang menarik memang. Karena memiliki beberapa keunikan tersendiri.
Belum selesai acara Pammanca’ kami diskusikan, kami kembali disuguhkan dengan acara Massayyang-sayyang yang juga menjadi salah satu kebudayan andalan suku Mandar. Ini merupakan pertunjukan bernyanyi yang diiringi dengan gitar. Seharusnya yang menjadi musik pengiringnya adalah kecapi, alat musik tradisional semacam kecapi. Tetapi alat musik tersebut sudah sangat jarang ditemui. Begitu juga dengan para senimannya.
Awalnya kawan-kawan dari sastra Inggris sedikit jenuh dengan pertunjukan Massayyang-sayyang. Selain acara ini sangat monoton, tidak ada yang mengerti maksud dari lirik yang dibawakan oleh para senimannya. Untung saja ada Salma yang berperan sebagai translator. Dia kan cukup lama berdomisili di Mandar. Meski aku juga alumni SMA dari Polewali, tapi pengetahuan bahasa Mandar yang kumiliki sangatlah minim.
Kami kemudian hanyut dalam setiap lirik yang diterjemahkan oleh Salma. Bagaimana tidak, liriknya begitu menghibur. Berisi pujian dan doa-doa untuk para Mahasiswa Unhas yang sudah menginjakkan kaki di tanah Mandar guna membantu melestarikan kebudayaan mereka. Apalagi saat satu per satu dari kami disebut-sebut oleh si penyanyi dengan menyebut warna dan motif pakaian yang kami kenakan. Sontak saja kawan-kawan heboh. Menyenangkan sekali.
Kehebohan tidak berakhir di situ. Ketika jarum jam mulai merayap ke angka sepuluh, banyak suara yang menyumbangkan lagu di atas stage sederhana tempat acara Massayyang-sayyang berlangsung. Tidak terkecuali mahasiswa Sastra Inggris. Banyak sukarelawan yang bergerilya di panggung sana. Kakak dan kawan-kawan dari sastra Daerah juga tidak kalah heboh. Semakin larut, semakin banyak saja yang bersuara. Selain kami mahasiswa Unhas, beberapa penduduk setempat juga asik bergoyang dengan lagu-lagu dangdut lawas yang mereka lantunkan.
Kantuk mulai mendera. Kami kembali ke peraduan. Agenda  di esok hari masih menunggu. Siang hari setelah waktu shalat, acara yang paling dinanti-nanti adalah Sayang Pattuddu’. Ini merupakan inti dari acara yang diselenggarakan oleh si tuan rumah. Khatam Al-Quran yang disandingkan dengan budaya menunggangi kuda menari saat dibunyikan gendang. Pemandangan yang menarik tentunya. Seperti tidak rela melewatkan semenit saja momen pengabadian, semua sibuk dengan kamera masing-masing.
Pertunjukan sayang pattuddu’ menjadi penutup dari serangkaian acara. Kami meninggalkan tanah Mandar dengan sedikit berat. Meski terbilang singkat di tempat ini, tapi ikatan yang terbina dengan penduduk setempat cukup kuat. Mereka sangat welcome terhadap kami. Proses pengumpulan data untuk tugas penelitian ini sangat dibantu oleh keterangan dari mereka. Di lain sisi, kawan-kawan juga sudah tidak sabar kembali ke Makassar. Ujian final menanti di depan mata.
Tiga bus dengan tulisan Universitas Hasanuddin di bagian depan terpampang dengan jelas melaju melintasi jalan poros provinsi. Perbatasan SulSel-Bar berlalu. Pinrang, Pare-Pare, Barru, Pangkep, dan Maros adalah kabupaten berikutnya. Ah. Ada insiden konyol di Pare-Pare. Aku, Kiki, dan Ningsih terbirit-birit menuju toilet ketika bus berhenti di bahu jalan daerah Pare-Pare. Tahu-tahu bus sudah menghilang dari pandangan kami ketika kembali dari toilet. Astaga. Bagaimana ini? Kami sedikit khwatir. Tapi kekhawatiran itu menguap setelah bus berikutnya muncul dari arah kanan kami. Dengan terpaksa kami harus berbaur dengan kawan-kawan dari sastra Daerah. Mereka ramah dan menyambut kami. Meski sebenarnya aku tahu kalau mereka geli melihat insiden yang menerpa kami bertiga.
Setibanya di pantai Pare-Pare yang menjadi tujuan untuk menyantap makan malam, hatiku lega melihat beberapa kawanku, Filldza, Fita, Salma, Jea dan yang lainnya. Mereka bergabung dengan senior dari sastra Daerah. Sedangkan kawan-kawan sastra Inggris sudah mencapai daerah Barru. Kami bertiga yang tadi terlupakan oleh bus mengoper diri ke bus senior. Ada hikmahnya tertinggal bus, di bus ini aku mendapat tempat duduk yang layak. Bersandar dengan nyaman. Aku tahu tangan Tuhan selalu ikut andil dalam setiap peristiwa yang terjadi pada hamba-Nya.
Tetapi kenyamanan itu hanya berlangsung selama satu jam lewat beberapa menit. Kabupaten Pangkep menawarkan makanan khas bernama Dange yang menghiasi sepanjang bibir jalan. Ketiga bus pun berhenti di tepat yang sama. Karena alasan barang-barang kami yang berada di bus sastra Inggris, kami bertiga lalu kembali ke habitat. Sebenarnya aku juga tidak terlalu nyaman di bus sebelumnya. Kurasa bapak supirnya calon pembalap gagal. Berjalan di darat tapi busnya seperti melayang-layang di udara. Meski aku harus kembali ke posisi semula dengan kursi plastik tanpa sandaran, setidaknya itu jauh lebih baik daripada harus melalui sport jantung di bus yang membalap liar itu.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk tiba di Makassar. Akhirnya bau pepohonan Unhas menyergap dari segala penjuru. Kami kembali ke kampus tercinta.

Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

eLPiDiPi Kali Kedua

Super Tri