Déjà vu
Pukul tiga pagi aku tiba di kampung
halamanku, Fanfar city alias Pangaparang. Aku kembali menghirup udara yang
telah lama kurindukan. Ini adalah kali ke empat aku menjalani ritual yang akrab
disebut Pulang Kampung setelah dua semester menjadi mahasiswa di universitas
yang terkenal akan lambang Ayam Jantannya.
Tidak
ada yang berbeda. Suasananya masih sama seperti ketika terakhir aku datang. Oh,
ada yang membuatnya sedikit berbeda. Kali ini aku datang tidak seorang diri.
Melainkan bersama sahabat tercinta, Cicuk Maricuk. Haha. Setelah ribuan hari
kami menjadi teman, untuk yang pertama kalinya ia akan menginap di kediamanku
yang tergolong sangat sederhana.
Kami
langsung menuju ke peraduan setelah beberapa menit disambut dengan obrolan
ringan sang Bunda. Haaah. Betapa leganya bisa kembali menikmati tidur yang
nyenyak di kasur reotku.
Hoaaam…
Sinar matahari melompat dari balik jendela. Rupanya pagi telah menjemput.
Kulirik penunjuk waktu di phonecellku. Aku dikejutkan dengan angka yang
terpampang di depan mata. Pukul sebelas?.
Oh, God. Bagaimana bisa aku tertidur selama itu?. Bagaimana dengan Cicuk? Apa
dia sudah bangun?. Kubalikkan tubuhku ke arah kanan. Rupanya ia juga baru
terbangun dan melakukan hal yang sama seperti yang baru saja kulakukan, memandangi
phonecellnya seakan tak percaya bahwa waktu sudah menunjukkan pukul sebelas.
“Astagaa.
Jam sebelas! Bagaimana mi ini?. Ahh.
Bukannya jam delapan ki harus ke
sekolah. Haissh..” Ungkapku memaki diri
sendiri karena bangun terlalu siang.
“Haha.
Saya pasrah saja ma’ waktu lihat jam.
Pulang semua mi ini orang di
sekolah.” Lontar si Cicuk.
Bangun
terlambat di hari jumat. Kombinasi yang pas untuk mendatangi sekolah dalam
keadaan kosong. Padahal si Cicuk harus menyelesaikan berkas yang harus dibubuhi
tandatangan kepsek.
Setelah
puas menertawai kebodohan masing-masing karena tidak mengaktifkan alarm dan
lupa memberitahu si mama supaya membangunkan kita, aku dan Cicuk memutuskan
tetap ke sekolah meski tahu bahwa kemungkinan bertemu dengan kepsek sangat kecil.
“Yang
penting ada usaha. Hasil belakangan.” Tutur Cicuk sok bijak.
Pete-pete
berwarna putih melesat dengan kencang membawa kami menuju Smansa yang juga
sudah sangat kami rindukan.
Seperti
bayangan kami. Kami mendapati sekolah dalam keadaan lengang. Tak sesosok pun
yang melintas di lingkungan sekolah.
Kami
berjalan menyusuri koridor. Tiba-tiba tampak siluet yang sangat familiar, kak
Bas. Jam segini, sudah hampir pukul
dua dia masih stay di sekolah. Wah.
Hal yang di luar dugaan. Kami pikir sekolah benar-benar telah kosong.
“Hei,
kalian. Cari siapa?”
“Hai,
kak. Bapak kepala sekolah ada?” tanyaku.
“Iya.
Ada. Ayo mi ke atas. Saya juga mau ke
ruangannya.”
Fantabulous! Fantastis ‘n fabulous!
Bapak kepsek masih ada di sekolah di waktu yang harusnya beliau telah
beristirahat di rumah. Wah. Benar-benar luar biasa pak Faezal. Kepsek baru yang
sangat kami cintai itu setelah sebelumnya menjadi sosok inspiratif selalu saja
membuat kami semakin menaruh rasa hormat dan kagum akan pribadinya yang dikenal
bersahaja, tegas dan disiplin.
Begitu
memasuki ruangan, atmosfer di ruang kepsek terasa sangat berbeda. Perasaan yang
dulunya agak tegang mencair menjadi lebih hangat dan luwes setelah tahta
diduduki oleh Mr. Faezal. Sosok itu. Kami sangat merindukannya. Ia kini ada di
hadapan kami. Kami pun terlibat dalam perbincangan ringan dengan beliau.
Setelah
ratusan lembar kertas dibubuhi tandatangan Mr. Faezal, kami memutuskan pamit.
Bernostalgia di sekitaran sekolah menjadi pilihan berikutnya.
Aku
seperti mengalami de javu saat
melintasi kelas-kelas tempat Exon mencuri ilmu. Gerombolan manusia yang satu
dalam kebersamaaan yang kerap kami namai Exact One.
Suasana
makan bekalan bersama di depan lab Fisika :)
Ingatanku
menerawang ke beberapa tahun silam. Di sinilah acap kali kami menghabiskan
bekalan setiap hari jumat. Entah mengapa hari itu kami pilih sebagai Hari Bawa
Bekalan Senasional. Aku lupa akan hal yang satu itu.
Awal-awal
kebersamaan di exon. Sawah itu kini diisi gedung baru.
Aku dan
Cicuk lalu melirik masuk lab kimia melalui salah satu daun jendela yang
terbuka. Di sinilah banyak kenangan indah, lucu, hingga mengharukan terjadi.
Ruangan ini telah menjadi saksi betapa banyak kenangan yang tercipta.
Suasana
praktikum. Kelompok perfectionis vs kelompok pengacau. Haha
Berfoto
di sela-sela istirahat :D
Mencuri-curi
waktu belajar demi berfoto. Ckck
Puas
bermain-main di masa lalu, kami segera beranjak dari sekolah meski sesungguhnya
kami ingin menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengenang masa yang kata
orang-orang masa paling indah dalam hidup dan memang benar, SMA adalah
saat-saat paling menyenangkan dalam hidup. Kalau saja aku tahu masa perkuliahan
tak seindah masa putih abu-abu, akan kuciptakan kenangan yang lebih banyak
bersama kalian, exon.
Sebelum
betul-betul meninggalkan sekolah, kami kembali disambut dengan kenangan ritual
yang hampir menjadi ritual wajib bagi exon jika ada yang berulang tahun,
dibuang ke rawa-rawa.
Kalian
masih ingat rawa-rawa ini kan? ;)
Tidak
ada yang begitu membahagiakan seperti saat jiwaku mengingat sahabat-sahabat
baikku. Aku menyayangi kalian dan akan selalu menyayangi kalian. :)