Hujan Pertama
Aku selalu suka hujan. Entah
sejak kapan. Aku merasa sangat bahagia kalau titik-titik air itu jatuh dari
langit. Aku suka saat hujan membasahi rumput.
Aku suka saat tanah basah karena hujan. Aku suka hujan membasahi alam
ini. Aroma rumput basah, aku sangat menyukainya. Aroma segar hujan, aku juga
sangat menyukainya.
Tik.. tik.. tik. Aku suka irama
saat hujan dan atap beradu. Hujan membuat tidurku lebih nyenyak. Dan sore ini
hujan pertama di bulan Juli menyapaku setelah sekian lama aku merindukannya.
Aku benar-benar meresapi
bulir-bulir bening itu. Juga benar-benar meresapi kesendirianku di kota orang
–di kamar ini, saat aku menulis tulisan ini. Yah. Aku diliputi rasa sepi.
Mungkin sedikit terkesan manja. Tapi aku benar-benar merindukan keluargaku
–ibuku, adikku, adakah kalian juga merindukanku?
Aku tidak menyebutkan ayah bukan
karena aku tidak merindukanmu. Aku juga merindukanmu. Bahkan lebih
merindukanmu. Hanya saja, aku tidak bisa lagi mendengar jawabanmu karena kau
telah musnah dari pandangan. Tapi aku yakin kau juga merindukanku.
Aku teringat sebuah kenangan
bersamamu. Juga bersama hujan. Meski sedikit samar tapi aku masih bisa
menggambarkannya. Di suatu hari di sebuah pantai tak bernama kau mengajakku
menghabiskan waktu berdua denganmu. Kau lempar kailmu di laut biru itu.
“Dapat..! Dapat..!” Dengan penuh
semangat kau menarik kail yang telah berhasil mendapat pancingan. Wajahmu
diliputi kegirangan tiada tara yang pernah kulihat. Aku tak kalah girang
menyaksikan adegan itu. Kita berdua larut dalam kegirangan.
Langit memuntahkan air. Dengan
segera kau menggendong tubuh mungilku yang baru berusia enam tahun. Kau berlari
secepat mungkin. Tentu saja kau tak lupa dengan pancinganmu. Kau angkat
lenganmu menutupi kepalaku. Tubuhmu hangat. Sehangat kasihmu. Momen itu selalu
bangkit dari ingatanku saat sosokmu terbayang. Aku selalu berusaha memanggil
kenangan masa lalu, mungkin saja ada kenangan yang lebih indah. Tapi kurasa aku
sudah tak ingat lagi. Aku tak tahu banyak tentangmu. Aku baru saja ingin
mengenalmu lebih dekat saat kau harus pergi meninggalkanku. Meninggalkan ibu
dan adik.
Bukan hal mudah menjalani hidup
tanpamu. Kadang aku marah pada keadaan. Keadaan yang membuat kita tak bisa
bersama. Tapi untuk apa aku marah. Hanya membuang-buang tenaga. Aku tahu ada
hal yang lebih indah yang telah disiapkan Tuhan untukku. Untuk ibu dan adik.
Aku percaya takdir yang memisahkan kita cepat atau lambat akan terjadi. Satu
keinginanku, aku ingin kita bersama lagi di kehidupan mendatang yang kekal.
Hujan masih mengguyur. Membuatku
terlalu malas beraktivitas. Tapi aku menyukainya. Aku menyukai hujan seperti
aku menyukaimu meski kita tak lama berkenalan. Aku merindukan hujan seperti aku
merindukanmu. Meski rindu ini tak berujung. Aku akan tetap merindukanmu.
Seperti kau yang akan selalu abadi di ingatanku.
Kamar kost, 3 Juli 2013
Bersama irama hujan