Mam Andjar


Titik air terus berjatuhan dari langit. Sementara sang mega enggan menampakkan diri dan memancarkan cahaya hangatnya.  Sudah sebulan terakhir kota Daeng dirundung mendung berkepanjangan. Kuharap hatiku tak semendung cuaca hari ini.

Kubulatkan tekad untuk tetap melangkahkan kaki ke kampus. Jarak dari kost tempat tinggalku menuju kampus hanya sekitar dua ratus meter. Kubuka payung biru tuaku yang sudah dua minggu ini selalu menemaniku berjalan di bawah rinai hujan.

Aku keluar dari lorong kostku dengan perasaan sedikit lega setelah melewati genangan air yang tak ayal membuat sepatuku basah. Untung saja sepatu yang kukenakan berbahan karet. Saat musim penghujan seperti ini akan sangat melelahkan menunggu sepatu dan jemuran yang lain kering. Semuanya mengalami defisiensi cahaya.

Aku menyusuri jalan kompleks tempat tinggalku. Jalanan ramai. Orang-orang dalam balutan jas hujan yang berwarna-warni berseliweran dengan motor mereka. Yang sejenis denganku juga tak kalah banyak. Jika dilihat dari arah atas mungkin akan serupa dengan jamur yang tumbuh liar di kayu yang nyaris tak bersel. Bedanya, jamur yang ini beraneka warna.

Tidak membutuhkan waktu yang cukup lama untuk tiba di kampus dengan berjalan kaki. Hanya sekitar lima belas menit aku sudah bisa melipat payungku dan menentengnya.

Kampus masih sepi. Baru beberapa orang yang telah tiba lebih awal. Ruang kelas masih tergembok. Sementara matahari juga masih tergembok di balik awan kelam. Aku memilih duduk di koridor sembari membuka-buka halaman buku linguistik, mata kuliah yang sebentar lagi masuk. Satu per satu mahasiswa berdatangan. Seseorang memanggil namaku.

“Diaann..”

Suara yang tidak begitu asing. Aku menengok ke arah kanan. Tampak sosok yang sangat kukenal mendekat ke arahku. Ternyata Fita pemilik suara itu. Seorang kawan yang kukenal saat registrasi ulang masuk universitas. Kami kemudian dipertemukan dalam lautan yang sama. Berada di jurusan juga kelas yang sama.

“Hei! Rajin sekali nona. Kutebak, pasti lagi-lagi kau orang pertama yang bertengger di sini, bukan?” sapanya lalu duduk di sampingku.

“Dan kau selalu jadi orang kedua,” balasku bergurau.

Belum lama Fita tiba, sang juru kunci pun datang dan membuka pintu kelas. Aku, Fita, dan beberapa kawan yang lain segera masuk. Berselang beberapa menit bapak dosen juga telah tiba. Dosen linguistikku ini sangat menjunjung tinggi kedisiplinan. Jarang sekali beliau terlambat. Keterlambatannya yang paling fatal hanya sekitar lima menit. Tidak ada toleransi untuk mahasiswa yang terlambat di atas sepuluh menit.

“If you’re late more than ten minutes, please, go to hell!” kalimat andalan beliau saat menghadapi mahasiswa yang suka ngaret.

Satu setengah jam berlalu. Kuliah ditutup. Aku beranjak dari dudukku. Dari balik jendela tampak awan berhenti menumpahkan air hujan. Bagus. Aku tidak perlu repot-repot berpayung lagi. Gumamku dalam hati. Perpustakaan kali ini menjadi tujuanku.

“Dian, mau ke mana?” tanya Fita membuntutiku.

“Ke perpus. Mau ikut?”

“Iya. Sekalian mau pinjam buku.”

Kami berjalan beriringan. Jarak dari fakultas sastra menuju perpustakaan umum tidak begitu jauh. Sepanjang jalan Fita bercerita tentang pengalaman pengaderannya di BEM beberapa waktu yang lalu. Aku hanya menjadi pendengar setia.

Begitu melewati area yang sering kami sebut area perbatasan Sastra dan Sospol, kami bertemu dengan salah seorang dosen yang banyak diidolakan mahasiswa di jurusan sastra Inggris. Dia mam Andjar, begitu kami menyapanya.

“Morning mam.” Sapa kami pada dosen berambut sebahu itu.

“Morning.” Balasnya seraya melemparkan senyum khasnya.

Seperti biasa. Kami sering sekali melihatnya melakukan aksi yang terbilang jarang kami jumpai pada manusia modern di era sekarang ini. Sama seperti beberapa detik yang lalu. Ia baru saja memungut sampah plastik yang ia jumpai saat melintas di koridor dan memasukkannya ke tong sampah. Aku heran, masih saja ada orang yang bersikap primitif, membuang sesuatu tidak pada tempatnya. Seperti tidak mengenal tempat sampah saja. Aku hampir tidak pernah menjumpai sosok serupa dengan mam Andjar. Ibu dosen yang satu ini berbeda. Ia tidak seperti kebanyakan orang. Ia melakukan hal yang dirasa benar dan bermanfaat tanpa peduli bagaimana orang lain melihatnya.

Mam Andjar kemudian berlalu. Sementara kami masih melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan. Rute yang kami tempuh kali ini berbeda dari biasanya. Fita memilih lewat samping gedung baruga, gedung besar untuk acara-acara besar. Alasannya bisa kutebak. Area ini ditumbuhi banyak pepohonan. Hijau dan rindang. Membuat siapa pun yang berjalan di sekitarnya merasa damai dan tentram. Di bawah pohon terdapat beberapa tempat duduk yang sengaja dirancang untuk dijadikan tempat bercengkrama. Sudah ada beberapa mahasiswa yang duduk di sana. Kami memutuskan menjadi followers mereka. Meski di tempat duduk yang terpisah.

Oksigen yang menyegarkan memenuhi paru-paru lalu menyebar ke aliran darah. Kami benar-benar menikmati kesan damai yang sangat mencolok di tempat ini. Suasana yang kurasa diinginkan oleh semua orang. Kalau saja tempat seperti ini bisa dijumpai di setiap titik kota besar. Tentu akan sangat indah dan nyaman. Memang sangat sulit menemukan area yang hijau, teduh, dan menyejukkan di kota besar seperti Makassar. Beruntung kampus yang sudah ratusan hari menjadi tempatku menimba ilmu ini dipenuhi pepohonan yang lebat hingga menjadi salah satu penyumbang oksigen terbanyak di kota ini.

Dengan malu-malu sang surya mulai mengintip dari balik awan. Mengintip dari balik dedaunan. Cerah pun merampas mendung. Kami seakan lupa tujuan awal menuju perpustakaan saking asyiknya mengobrol ditemani semilir angin.

“Ke perpus yuk. Sebentar lagi kelas Speaking.” Ajakku pada Fita.

“Yuk.”

Rasanya tidak rela meninggalkan tempat ini. Kami kemudian segera beranjak menuju tujuan awal yang sempat tertunda.

Oh. Apa yang dilakukan Fita? Sepertinya ia ingin menjadi pengikut mam Andjar. Ia mengangkat beberapa plastik bungkusan roti yang tersebar di sekitar tong sampah.

“Hm. Buang sampah saja tidak becus. Ini ada tempatnya kok malah dibuang di samping tong sampahnya. Kasihan kan tempat sampahnya. Sudah disediakan malah tidak digunakan.” Gerutu Fita.

Tanpa pikir panjang segera saja kulayangkan tanganku menggapai setiap yang bisa kugapai lalu menempatkannya di tempat yang sudah seharusnya.

“Kalau saja ada denda untuk orang-orang yang membuang sampah di sembarang tempat, mungkin tidak akan seburuk ini kondisinya.” Ucap Fita dengan nada sedikit jengkel.

“Yah. Aku juga berharap begitu.” Lontarku singkat.

“Heran yah, kenapa masih saja banyak orang yang belum sadar kalau kebersihan itu penting. Mengaku beriman tapi menjaga kebersihan saja tidak bisa.” Lagi-lagi Fita meluapkan kedongkolannya.

Kami segera berlalu meninggalkan tempat sampah juga meninggalkan kejengkelan yang sejak tadi bercokol. Hanya sekedar marah tanpa tindakan berarti akan sia-sia saja. Tidak ada perubahan. Memang betul kata orang, untuk mengubah dunia harus dimulai dari diri pribadi.

Setelah perjalanan yang tidak jauh tapi juga tidak singkat, tibalah kami di perpustakaan. Perpustakaan memang selalu mampu menjadi tempat yang paling nyaman untuk rehat.

Tulisan ini dalam rangka event #30DaysSaveEarth yang di selenggarakan oleh
@jungjawa dan @unidzalika

Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

eLPiDiPi Kali Kedua

Super Tri