Sindrom



“Hai. Perkenalkan, namaku Sima. Aku pindahan dari SMA 1 Lembang. Salam kenal.” Ucap seorang perempuan yang sedang berdiri di hadapan kami.

Lalu seorang kawan menimpali dengan pertanyaan.

“SMA Lembang itu dari planet mana?”

“SMA Lembang ada di sebuah kecamatan kecil di kabupaten Pinrang. Jaraknya sekitar dua ratus kilometer dari kota Makassar.” jelasnya panjang lebar.

“Oke Sima. Sudah tidak ada lagi pertanyaan lagi kan? Sekarang kamu bisa duduk di samping Ridho.” Ibu guru kemudian menunjuk ke arahku.

Aku sedikit kaget mendengar ibu guru menyuruh anak baru itu duduk denganku. Meski sebenarnya tidak ada yang perlu kukhawatirkan. Sima tampak sangat ramah. Mungkin akan sangat mudah untuk berteman dengannya.

Sima lalu menghampiriku. Duduk di sampingku. Kemudian menjulurkan tangannya seraya melemparkan senyum yang kurasa ia pinjam dari Nikita Willy. Tanpa pikir panjang segera kusambut uluran pertemanannya.

“Aku Sima.” Lontarnya.

“Aku tahu. Tadi kan sudah perkenalkan diri.” Balasku sedikit bergurau.

“Aku Ridho. Semoga betah di sekolah ini.” Sambungku dan tak ingin kalah, kubalas dengan senyum Rezky Aditya. J

Begitu kelas berakhir, kami lalu terlibat dalam perbincangan ringan.

“Kenapa kamu pindah sekolah?” tanyaku sedikit penasaran.

“Orangtuaku sudah tidak ada. Aku ikut dengan pamanku. Paman bilang, SMA 17 Makassar salah satu sekolah terbaik di kota ini. Jadi aku dipindahkan ke sini. Sebagai anak yang seluruh biaya pendidikannya ditanggung oleh paman, jadi aku menuruti saja kemauan pamanku.” Terangnya.

“Oh. Kalau begitu kamu anak yang baik dong.”

“Jangan sok manis yah.” Ucapnya sedikit tertawa.

Pertemanan kami menjelma menjadi sebuah persahabatan. Sedikit banyak aku telah mengenal karakter Sima. Termasuk hal aneh darinya yang sedikit menggelitik. Ia punya kebiasaan unik mengoleksi sampah di tasnya. Sampai seluruh kawan sekelas menjulukinya dengan si cantik jorok. Aku sering bertanya-tanya gerangan apa yang membuatnya begitu gemar menimbun sampah-sampah plastik di tasnya. Apa itu semacam sindrom. Entahlah. Aku bingung.

“Iseng saja.” Jawaban yang selalu sama saat pertanyaan itu muncul.

Belakangan ia lalu mau menjelaskan kebiasaan tak lazimnya itu.

“Daripada dibuang di kelas atau di sembarang tempat, lebih baik dikantongi atau disimpan di tas. Kalau dapat tempat sampah baru dibuang. Banyak kan yang mengaku cinta kebersihan, bahkan mengampayekan tentang kebersihan  tapi sulit sekali melakukannya. Jadi, sebisa mungkin mulai dari diri sendiri dan dimulai dengan hal-hal sederhana. Langkah kecil untuk perubahan besar! Bukan begitu slogan-slogan yang sering kita temui?” Aku sedikit tersentak mendengar pengutaraannya yang sama sekali tidak pernah terbersit sedikit pun di benakku.



Tulisan ini dalam rangka event #30DaysSaveEarth yang di selenggarakan oleh
@jungjawa dan @unidzalika


Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

eLPiDiPi Kali Kedua

Super Tri